Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ancaman Penggal Kepala dan Fase Kebencian Digital

13 Mei 2019   05:32 Diperbarui: 13 Mei 2019   21:41 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HS (25), pria yang mengancam memengal Presiden Joko Widodo digiring ke Mapolda Metro Jaya, Minggu (12/5/2019). (KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR)

Fase Pertama
Basis moral supaya orang berani membenci menjadi pemicu awal. Faktor yang mempengaruhi antara lain; perkataan orang lain yang dipercaya (word of mouth), pertemanan dunia nyata (IRL), dan preferensi politik.

Moral yang didasarkan pada keyakinan dan ideologi menjadi pemicu. Obrolan keluarga, teman, atau rekan kerja mempengaruhi preferensi politik seseorang. Aspek preferensi politik saya titik beratkan karena kasus ancaman kepada Presiden pun politis.

Kebencian untuk mengecam Presiden pada masa ini masih dibayangkan. Hanya berbentuk imajinasi dan kata hati pribadi untuk membenci. Belum ada pernyataan antipati dalam tulisan bahkan lisan. 

Fase Kedua
Basis interaksi sosial media kini kian personal dan real-time. Preferensi politik yang dipengaruhi teman berdampak pula pada pemilihan teman. Teman yang tidak 'beraliran serupa', akan jarang diberikan like, komentar, dan share. Atau yang lebih dikenal sebagai social gesture.

Ketika ketimpangan social gesture terulang dan dibiasakan. Algoritma sosial media pun mendeteksinya. Terciptalah penjara filter bubble. Dimana linimasa akan lebih banyak memunculkan posting/akun yang 'beraliran serupa' atau (homogen).

Sehingga, persepsi ruang gema (echo chamber) muncul. Yang terjadi adalah auto-indoktrinasi 'aliran serupa'. Kebenaran berbasis 'aliran serupa' terbentuk, terpupuk, dan dipaparkan secara personal 24 jam perhari selama 7 hari seminggu.

Komentar nyinyir bisa dibubuhkan di sebuah posting menjelekkan kinerja Presiden misalnya. Karena orang-orang lain di linimasa pun melakukan nyinyiran serupa. Komentar nyinyiran yang dibubuhi social gesture pun menjadi candu. Dan akhirnya berulang-ulang dilakukan di lain waktu. 

Fase Ketiga
Basis interpersonal pun terbentuk dari ribuan akun anonim dan asli yang tidak dikenal. Akan ada oknum yang mengorganisir ribuan akun tak saling kenal ini. Biasanya via direct message (DM) atau memposting link grup chat/undangan join grup. Bukan tak mungkin terbentuk grup chat.

Grup chat ini tahapnya lebih personal dengan interaksi interpersonal. Personal karena bisa aktif memantau grup chat. Interpersonal karena akan muncul tegur sapa sampai diskusi. Dari interaksi ini meet-ups alias kopi darat untuk ngopi, sarasehan, sampai seminar mungkin dibuat.

Dengan preferensi politik yang serupa. Dan obrolan grup chat yang hanya berkisar topik serupa. Maka konteks IRL (in real life) adalah menyatukan visi, misi, dan interkasi. Karena bertemu muka akan menciptakan rasa dan kesan bagian sebuah kelompok (tribalisme).

Pada fase ini, kebencian sudah bisa nyata dilakukan via lisan. Sumpah serapah yang nyata diungkap menjadi sebuah persembahan kesetiaan pada kelompok ini. Anggota lain bisa turut bersumpah serapah atau meresapi konteks situasi kebencian yang dimunculkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun