Pernyataan bahwa banjir yang terjadi adalah kiriman, penyumbatan sampah di hilir, dan pengungsi banjir tidak seberapa dari tahun 2017. Kian membuat citra Anies sebagai ahli tata kata dan kurang memahami tata kota. Warga Jakarta konon mengeluh tapi mau bagaimana lagi karena Anies adalah pilihan mereka.
Keputusan Jokowi menetapkan pemindahan ibu kota, pun dipersepsi sebagian orang mengeruhkan citra Anies saat ini. Penetapan ini mungkin menyiratkan ada ketegangan antara Jokowi dan Anies secara personal. Anies dinilai tidak baik sebagai Mendikbud dan kini sebagai Gubenur DKI.
Ditambah, Anies yang menjabat sendirian di kursi eksekutif pemerintahan DKI. Membuat nuansa penetapan pemindahan ibu kota sebagai urgensi tidak langsung. Jokowi seolah berkata halus, jangan memimpin sendirian karena begitu rumitnya problema ibu kota. Kalau tidak mampu, ibu kota sebaiknya saya pindah, tutur Jokowi.
Namun, kebijakan politik Presiden memang bisa dimaknai, diasosiasi, dan didekonstruksi beragam. Keputusan Jokowi tentang penetapan pemindahan ibu kota pun bisa dianggap mengeruhkan citra Anies Baswedan.
Tren wacana pemindahan ibu kota sebenarnya juga telah muncul sejak 2014. Tahun dimana Jokowi pernah menjadi Gubernur DKI. Walau pada waktu itu belum 'secetar' saat ini. Walau sempat santer tren ini di 2017, tapi penetapan pemindahan ini seolah mempertegas makna politis lain.
Lalu mengapa penetapan pemindahan ibu kota baru sekarang dibuat? Itulah yang kini menjadi gurita persepsi di tiap pikiran kita.
Tinggal bagaimana publik memaknai dan mengasosiasi. Baik dengan perspektif bias konfirmasi maupun bernalar skeptis yang sehat. Pemindahan ibu kota pada intinya baik. Namun menjadi keruh karena ada asumsi politik dan figur yang timbul dan kita maknai.
Salam,Â
Solo, 30 April 2019
07:19 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H