Wacana rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo patut kita ditunggu dan diapresiasi. Namun bagaimana jika nanti yang kita akan lihat malah polarisasi. Pemilu yang membelah publik menjadi kubu 01 dan 02 tidak akan luntur usai rekonsiliasi.
Kentalnya politik identitas. Gaduhnya linimasa media sosial dan efek penjara pola fikir ala post-truth. Akan berpotensi membuat jurang disparitas sosial dan gejolak kebencian selalu ada.
Walau kedua kubu saling berceloteh menggunakan akal sehat selama proses Pemilu berlangsung. Namun nyatanya dungu-mendungukan. Atau saling ejek dengan sebutan cebong atau kampret masih berlangsung.
Kentalnya politik identitas berupa keyakinan beragama sudah lama bergema di Pemilu Indonesia. Di Pemilu tahun 1955, PKI dan PNI selalu menuduh Masyumi hendak mendirikan negara Islam. Melalui kampanye terbuka dan surat kabar waktu itu, kampanye hitam menyudutkan Masyumi beredar di masyarakat.
Mundur ke Pemilu 2014, tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang identitas agama juga bergaung. Melalui dua edisi tabloid Obor Rakyat, fitnah terhadap Jokowi sistematis beredar di banyak Ponpes di Jawa waktu itu. Pihak Kepolisian akhirnya melarang Obor Rakyat beredar dan Dewan Pers menyebut tabloid ini bukanlah produk jurnalistik.
Kembali di Pemilu 2019, identitas keagaaman dipolitisasi guna mendulang suara. Pengerahan massa pada berjilid-jilid aksi kuat menyimbolkan identitas keagamaan dan kampanye politik daripada aksi damai.Â
Tokoh-tokoh agama yang sering dimunculkan, dikunjungi, dan diberikan panggung dilakukan kedua kubu Capres. Identitas agama mayoritas pun diperebutkan sekaligus dieksebisi sedemikian rupa di Pemilu 2019. Â
Guna mendukung kentalnya identitas keagamaan saat Pemilu. Maka masing-masing simpatisan tiap kubu memperebutkan dominasi linimasa. Karena kedua kubu mesti meyakini bahwa moda kampanye dunia digital paling efektif, murah, sekaligus dahsyat dampaknya.
Ekses negatif kampanye digital mudah kita lihat. Misalnya penyebaran berita bohong yang begitu masif. Berita yang menyudutkan kedua pasang Capres ini tak kenal waktu. Bahkan tidak kenal siapa pembuatnya.
Ditambah portal berita digital yang (hiper)-partisan mengunggulkan salah satu pasang Capres. Tak jarang, mem-frame negatif Capres kubu lain. Berita yang dipotong, menonjolkan kalimat sensasional, dan tak jarang berisi disinformasi, menjadi konsumsi simpatisan.
Peran para politisi dengan akun sosmed-nya pun berperan mendorong kegaduhan yang terjadi. Baik itu politisi maupun timses, semua kabar yang menyudutkan Capres lawan diberitakan. Tapi tidak dibagikan jika ada berita yang mengorek sisi negatif Capres jagoan mereka.
Informasi hoaks pun sempat mengotori linimasa. Dari mulai hoaks server KPU 'bolong'. Ada 7 kontainer surat suara tercoblos. Sampai pengeroyokan fiktif Ratna Sarumpaet, menggelorakan nafsu politis menjelekkan citra salah satu pasang Capres.
Kampanye berbasis identitas agama dan kegaduhan reaktif medsos memunculkan penjara digital, filter bubble. Algoritma yang didesain sebagai default platform sosmed ini berdampak serius pada pola pikir users.
Kedua simpatisan Capres akan selalu disajikan berita homogen di linimasanya. Mereka yang mendukung Capres 01, akan banyak posting tentang Capres di linimasanya. Begitupun pada pendukung Capres 02. Maka yang terjadi adalah auto-indoktrinasi ala ruang gema (echo chambers).
Perspektif post-truth, yaitu prinsip keyakinan pribadi diatas konvensi, menguat. Yang kita amati adalah apa saja yang diinformasikan dari kubu 01 dan 02 akan selalu dicap hoaks. Data dan fakta dari kubu 01 akan dilabeli bohong dan konspirasi rezim. Sedang fakta dari kubu 02 akan dijustifikasi mengada-ada atau rumor semata.
Maka terbentuk residu perspektif post-truth yang bisa kita telusur dari Pilkada DKI 2017. Ada segregasi sosial bagi mereka yang mendukung Ahok-Djarot adalah kaum liberal, pluralis, dan sekuler. Dan pendukung Anies-Sandi adalah sektarian, agamis, dan (kadang) radikal.
Tak jauh berbeda, residu perspektif post-truth juga kita raba dari Pemilu 2014. Koalisi partai oposisi pimpinan Gerindra berada dalam gerbong berpola mirip seperti para pendukung Anies-Sandi. Yang terjadi pada gerbong partai koalisi petahan pun kurang lebih serupa.Â
Perspektif post-truth dari hasil segregasi sudut pandang politis dan basis massa kini teramplifikasi di Pemilu 2019. Berkat kebebasan ekspresi yang kebabablasan di sosmed, komersialisasi propaganda digital, dan rekayasa social gesture. Rekonsiliasi hanyalah topeng untuk menutupi polarisasi (ekstrim) usai Pemilu.
Pada level pimpinan dan pejabat teras timses, rekonsiliasi adalah waktu berbenah dan saling menyalami. Tidak ada sakit hati selain komisi karena sudah berkampanye selama hampir lebih satu tahun. Lobi-lobi politis dan administratif untuk jabatan tertentu pun bisa jadi terjadi. Dengan tidak memandang kubu mana didukung saat kampanye.
Karena gencarnya media menyorot pendukung Prabowo dengan simbolisasi agama yang kuat, emak-emak berjilbab yang militan. Atau media yang menggambarkan simpatisan Jokowi yang dianggap hedonis, berpola fikir bebas, dan 'ke-kotaan'. Stigma sosial ala simpatiasn pendukung akhirnya tercermin di kehidupan nyata.Â
Duel fisik akibat beda pilihan Capres yang sempat terjadi di Sampang Madura pun bisa terulang kembali. Atau di masa mendatang, perdebatan Capres jagoan anggota grup WhatsApp alumni atau keluarga bisa saja tersulut dan membuat kita tidak nyaman.
Atau memang, model polarisasi ini sengaja dibuat dan dijaga beberapa oknum pencari kuasa. Karena polarisasi adalah modal dasar mencari pendukung yang fanatik, militan, bahkan rela melakukan segala cara.Â
Polarisasi pun menjadi social capital bercitra negatif yang dibangun dan dimonitor agar ada pihak yang mau dan mampu mengeksploitasinya sebagai anak tangga menuju kekuasaan.
Sosial media pun akan selalu menciptakan ruang-ruang katalis kebencian akibat polarisasi masa kini. Segregasi sosial dulu begitu redup tapi tetap menyala sejak Pemilu 1955. Namun kini kian benderang dan frontal sejak Pemilu 2014 dilangsungkan.Â
Yang diharapkan tentunya adalah rekonsiliasi holistik. Menyingkirkan rasa benci, stigma identitas, dan penjara algoritma linimasa harus dilakukan segera. Ada urgensi yang signifikan atas hal ini karena sosmed sebagai medium polarisasi sosial dampaknya begitu mengerikan.Â
Sosial media yang kini penuh dengan kelompok ekstrim yang tersegregasi atas dasar identitas bangsa, agama, dan ideologi. Contohnya selama 2016-20017, polarisasi berbasis identitas keagaaman dan kebencian etnis menyulut genosida orang Rohingya di Myanmar. Menyulut kasus seperti aksi teror white-supremacist di New Zealand.
Siapapun Presiden terpilih untuk periode ke depan akan menghadapi polarisasi (ekstrim) ini. Dan dampaknya ini akan senjata makan tuan jika tidak segera disadari, diwaspadai, dan ditanggulangi.
Sehingga, rekonsiliasi pun baiknya diadakan secara nasional. Kegiatan yang melibatkan banyak pihak dan tokoh yang berseteru secara politis. Platform sosial media pun harus duduk dan memperhatikan. Membuat algoritma bebas dari bias dan penjara post-truth baiknya mulai didesain.
Makna rekonsiliasi yang positif pun dapat tercipta. Bukan rekonsiliasi rasa polarisasi yang kita rasa negatif saat ini.Â
Salam,
Solo, 24 April 2019
01:58 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H