Secara psikis dan fisik, Pemilu 2019 memang melelahkan. Dari fikiran yang begitu riuh dan jengah dengan tagar copras-capres di sosial media. Sampai dampak langsung teknis Pemilu 2019 dengan 5 kotak yang melelahkan sampai memakan korban jiwa.
Fikiran kita sudah begitu jumud dengan banyak tagar. Bahkan sebelum Pemilu dihelat di akhir 2018. Banyak sekali tenaga, uang, dan emosi yang dihabiskan untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian selama Pemilu 2019 berlangsung.
Setiap kubu begitu getol dan militaan memainkan setiap isu yag bersinggungan dengan Capresnya. Mulai dari hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos. Sampai isu propaganda Rusia yang hanya asumsi belaka.Â
Isu-isu yang menghabiskan banyak energi, waktu, dan kuota kita di sosial media. Yang pada akhirnya hanya menjadi posting viral yang hikmahnya pun semaya mediumnya.
Hoaks operasi plastik Ratna Sarumpaet (RS) yang didramatisir menjadi pengeroyokan pun menyerap banyak perhatian. Walau awalnya, kubu Prabowo mem-framing isu ini guna meragukan kinerja Kepolisian dibawah pemerintah Jokowi. Namun pengakuan RS sendiri pada akhirnya mengejutkan banyak pihak. Lalu pihak yang mem-framing pun mulai cuci tangan.
Bahkan sampai usai hari pencoblosan 17 April lalu. Linimasa sosmed masih penuh dengan tagar copras-capres. Seolah tidak ada hal lain yang penting dan berfaedah di linimasa. Tercipta banalitas yang ironisnya dinikmati beberapa orang yang terjebak dalam konsep tribalisme digital.
Ribuan akun asli dan akun bot begitu kuasa membuat posting trending. Dengan prinsip kebenaran personal ini pun difortifikasi algoritma filter bubble. Kekukuhan keyakinan dalam kelompok pada akhirnya menumbuhkan aktfitas militansi digital yang begitu gandrung.
Maka tak heran frekuensi dan jumlah hoaks dan ujaran kebencian begitu masif menyoal Capres kali ini. Entah itu rumor via grup WhatsApp sampai ceramah keagamaan yang diselipi pesan politis. Semua cara dilakukan agar mengangkat citra Capres. Â
Fikiran kita sejatinya sudah cukup jengah akan hal ini. Saat konektivitas sosmed pada akhirnya mengurung kita dengan kepopuleran polarisasi politik. Namun tidak bagi pihak yang mencari keuntungan finansial dari keriuhan tanpa faedah trending copras-capres ini.
Pada spektrum kelelahan Pemilu 2019 yaitu lelahnya fisik. Dimulai dari asumsi penghematan biaya petugas Pemilu sampai 50%. Yang terjadi dari asumsi ini adalah 14 petugas TPS meninggal dunia, 74 petugas mengalami kecelakaan, dan 85 lainnya dirawat inap. (Data dari Tweet Bawaslu dibawah)
Hormat terdalam dan doa tertulus bagi para pahlawan demokrasi yang sepenuh hati mengabdi dalam mengawal proses demokrasi di seluruh Indonesia. Pengorbanan mereka merupakan tonggak demokrasi bangsa.#Pemilu2019#BawasluBerduka#Bawaslu pic.twitter.com/XpR79YMxE9--- Bawaslu RI (@bawaslu_RI) April 21, 2019
Alokasi anggaran sebesar 25 triliun dari pemerintah nyatanya dampaknya tidak terukur. Terutama dalam hal alokasi tenaga dan waktu teknis penghitungan dan penyelesaian beragam form. Ditambah jumlah TPS yang begitu masif mencapai 800 ribu lebih.
Dari pengalaman pribadi saya sebagai ketua KPPS di lingkungan RW. Tim KPPS kami menghabiskan hampir 24 jam menyelesaikan semua proses teknis yang ada. Sebab yang utama menurut saya adalah minimnya penjabaran bimbingan teknis (Bintek) soal Pemilu 5 kotak yang akan dilaksanakan.
Pun banyak yang menyayangkan honorarium petugas TPS yang tidak sepadan jika dilihat dari kinerjanya. Walau menjadi petugas TPS dianggap pula sebagai tugas negara. Namun melihat rumit dan banyaknya tugas yang dilaksanakan. Perlu ada evaluasi holistik menyoal teknis Pemilu yang baru saja terlaksana.Â
Kelelahan fisik ini pun masih urung hilang karena ribut-ribut soal eror input hasil penghitungan C1. Banyak pihak yang melihat terjadi kecurangan input dari beberapa pihak merugikan salah satu pasangan Capres.Â
Walau kesalahan input digital ini masih bisa diperbaiki. Dan yang terutama masih menunggu proses real count KPU 22 Mei mendatang. Namun banyak pihak yang malah mensengkarut pengawalan proses real count dengan mengunggah form C1 palsu.
Proses crowdsource seperti yang dilakukan KawalPemilu2019.org menemukan penggelembungan suara untuk Capres 02. Hasil foto atau scan C1 yang dipalsukan berbeda dengan input pada situs KPU. Namun ada saja yang mengklaim hasil uploadnya asli dan input pada situs KPU-lah yang salah.
Ditambah pihak-pihak lain yang menyisihkan waktu dan tenaga di situs pengawas real count KPU. Seperti situs crowdsource lain yaitu roemahdjoeang,org, jurdil2019.org, ayojagatps.com, dan pantau.kawalpilpres2019.id.Â
Baik media, organisasi relawan dan netizen memantau dan mengawasi proses real count. Ribuan pasang mata dan hati terfokus pada upload C1 dan angka-angka pada setiap situs. Betapa melelahkan. Â Â
Sehingga pada akhirnya, apakah semua rasa lelah ini setimpal dengan hasilnya 5 tahun ke depan? Apakah tetap terjadi polarisasi politik ekstrim di sosial media Indonesia? Apakah masih ada ujaran kebencian dan hoaks yang menghiasi linimasa dan grup chat kita?
Jika hal-hal ini terus ada dan menginsinuasi perpecahan. Maka bisa dipastikan kelelahan bangsa Indonesia karena Pemilu sia-sia belaka.Â
Maka mari mengawal sembari terus merawat akal sehat kita sebagai satu bangsa.
Salam,
Solo, 22 April 2019
10:00 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H