Berbeda kenyataannya ketika Pilpres US di tahun 2016. Publik disana belum banyak menyadari penggiringan opini ala PR yang sedang terjadi. Skandal Cambridge Analytica (CA) sendiri baru terbongkar setahun kemudian. Setelah diungkap mantan periset CA bahwa 80 juta akun diduga telah dieksploitasi.
Publik kita lebih siap dan aware akan hoaks dan propaganda. Indikasinya terlihat dari sentimen trending topic saling serang yang berubah-ubah. Informasi hoaks atau misinformasi yang ada pun banyak yang didaur ulang dari tahun sebelumnya.
Kesimpulan
Ketiga proposisi diatas yang tidak banyak dinarasikan media. Karena media yang ada mungkin mencari sensasi. Dan mereka urung memberitakan kompleksitas dunia digital dan metode 'propaganda Rusia' itu sendiri.
Secara empiris, belum ada digital fingerprints yang menunjuk keterlibatan Rusia atau pihak asing diluar negara kita. Kegaduhan linimasa pun masih didominasi sentiman oleh akun asli dan bot yang bersifat lokal.
Dan yang paling utama, publik kita sudah cukup mengerti apa yang terjadi di Pilpres US. Walau literasi digital dan media belum menjadi bagian kurikulum pendidikan. Namun gaung dan kesadaran menangkal hoaks sudah cukup mengena dan bermanfaat untuk publik.
Salam,
Solo, 07 Februari 2019Â
11:27 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H