Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Politik, Sosial Media Tak Lagi Asik

5 Februari 2019   22:37 Diperbarui: 6 Februari 2019   19:15 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emoticon Angry - Foto: freestocks.org

Facebook saat ini sudah berusia 15 tahun. Twitter mengikuti di usia 13 tahun. BBM pernah merajai di tahun 2005, kini sepi tiada penghuni. Path sudah 'mati' tahun lalu setelah bertahan sekitar 10 tahun. Sosmed ala Google yaitu G+ malah pun akan menyusul tutup layanan.

Instagram dan WhatsApp masih dianggap anak baru. Tapi tak bisa disangkal mereka lebih populer dan segmented. Kalau Anda seusia saya, mungkin kenangan di Friendster atau Mig33 (kini MigMe) menjadi awal mula riuhnya media sosial.

Tapi bukan itu persoalannya, melainkan sejak media sosial 'terpolusi' oleh segala urusan politik banyak yang merasa terusik dan merasa linimasa dianggap tidak lagi asik. Sebab, politik tidak sekadar meluruhkan pertemenan. Tak jarang menyulut salah faham hingga konflik.

Jika tren Facebook dahulu adalah menambah ribuan teman, kini banyak orang yang mulai menghapus teman. Jika dulu tren di Twitter adalah saling follback, kini malah seringnya saling unfollow dan block. 

Jika dulu notifikasi WhatsApp ditunggu dan dicari. Kini seringnya orang-orang mengacuhkan deretan merah chat individu atau grup. Walau jelas tertera di chat orang lain bahwa kita online.

Perbedaan politik tak ayal mempolarisasi teman kita di sosmed. Bahkan, tak jarang sosmed ikut-ikutan mengkluster kita sesuai jejak digital kita. Kita pun terjebak dalam perspektif homogen atau filter bubble.

Mereka yang suka berdebat di sosial media adalah orang hebat. Kuat untuk di-bully dan tak jarang diserang akunnya dan keluarganya. Tak jarang terjadi persekusi karena perbedaan cara pandang politik.

Mereka yang mendukung total Capres sebelah terus nyinyir pada Capres lawan. Tak jarang cyber army para pendukung Capres bergerak. Ratusan sampai ribuan komen didapat. Mendebat satu persatu akun julid tadi tentu bukan solusi yang sehat.

Dalam grup chat manapun, terkadang ada saja simpatisan Capres turut nimbrung. Apa-apa saja bisa diasosiasi kepada penjatuhan citra Capres lawan. Jika ditegur admin atau kita sendiri. Kadang malah membuat sungkan dan dianggap memihak Capres lain.

Kegilaan politik kita begitu tak kenal berita, waktu, dan tempat. Semua hal sepele bisa dikaitkan dengan perhelatan Capres. Sampai-sampai berita kebanjiran sekolah di Mindanao Filipina disangkut pautkan ke salah satu Capres.

Dampaknya, kini banyak orang kian risih dan berhati-hati posting dan komentar di sosmed. Salah posisi jari saja kadang dikaitkan Capres. Berfoto dengan seseorang yang pendukung Capres lain dianggap simpatisannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun