Saat berita digital berfokus banyak pada cepatnya distribusi dan pendapatan klik/visit. Ditambah diseminasi dan konsumsi berita via sosmed dan grup chat yang cepat dan personal. Kode etik jurnalistik seperti verifikasi fakta kadang tidak menjadi acuan pemberitaan.
Fakta menjadi hal yang begitu rumit untuk ditelisik di dunia digital. Bukan saja menyoal 5W+1H. Tetapi lebih rumit dan rigid. Seperti mengungkap manipulasi foto dan video bahkan waktu dan lokasi penyebaran informasi digital di sosmed.Â
Untuk mengungkap elemen digital seperti diatas, dibutuhkan skill digital forensic. Yang mungkin bagi beberapa jurnalis masih merasa kesulitan. Dalam buku terbitan UNESCO ini, modul Fact-check 101 dapat menjadi referensi praktis dan komprehensif. Tidak saja jurnalis tetapi pendidik di era digital seperti sekarang.
Namun di lain sisi, mengungkap fakta kadang memberikan ancaman untuk jurnalis. Resiko yang menjadi bagian profesi jurnalis, kini kian sulit dihindari saat netizen kian gaduh dan sosmed kian terbuka. Tak jarang jurnalis daring mendapat ancaman baik psikis maupun persekusi.
Intimidasi aparat sampai persekusi ormas tertentu disebabkan pemberitaan yang dianggap merugikan beberapa orang/kelompok tertentu. Tak jarang gesekan antara kelompok di sosmed dan jurnalis pun sering terjadi. Karena berbeda perspektif menyorot berita, sampai menyinggung SARA dapat menimbulkan konflik dengan pihak jurnalis.
Dan Indonesia kini berada dalam dekapan disinformasi yang kian kuat. Memberikan pendidikan literasi media kini menjadi tugas akademisi dan praktisi jurnalisme. Di dalam ruang redaksi, fakta akan informasi viral menjadi tanggung jawab. Dan di dalam kelas, memahami literasi media di era disrupsi kini kian signifikan fungsinya.
Peran Jurnalis juga Peran Anda, Saya dan Kita SemuaÂ
Menjadi bagian workshop UNESCO dan Fisipol UGM menjadi pengalaman berharga untuk saya. Akademisi dari UGM, UI, UIN Kalijaga, Atmajaya Jogja, UPN Veteran dan UMN memberi gambaran teoritis tentang posisi media legacy dan digital di era disrupsi 4.0.Â
Disinformasi pun gamblang dijabarkan para jurnalis dari AJI, Tempo Institute, AJI Yogyakarta, dan Tirto.id. Dari Siberkreasi dan Mafindo pun telah mengkontribusi bagaimana informasi kini kian sulit ditelusur kebenarannya.Â
Dari sinergi ketiga elemen diatas, dengan diwadahi inisiasi UNESCO. Buku panduan Journalism, Fake News, and Disinformation dapat diimplementasikan dalam konteks literasi media dan digital dengan ke-Indonesia-an kita. Dan tentu, membangun dan membekali generasi digital masa depan Indonesia yang lebih baik.
Anda pun dapat berperan langsung menangkal disinformasi yang ada. Dengan tidak menyebarkan berita yang menyulut emosi dan keraguan salah satunya. Mengunduh e-book untuk setiap modulnya diterapkan dalam keluarga, komunitas, atau kelas literasi juga bisa menjadi kontribusi nyata.