Ada yang mengusik fikiran saya soal golput di Pilpres 2019. Saat Golput adalah preferensi personal. Kini, ada ajakan, gerakan dan pernyataan Golput yang begitu kentara di media maupun medsos.
Ada tokoh yang terang-terangan diwawancara di media soal pilihannya untuk Golput. Ada pula inisiasi tagar Golput di sosmed yang cukup konstan tumbuh.Â
Menyoroti Golput saya kira baiknya dibahas efeknya pada demokrasi. Namun saat media mulai menampilkan tokoh penginisiasi bahkan memprovokasi untuk Golput. Ini yang berbahaya.
Golput menjadi berita sensasionalis media. Baik cetak maupun TV, media mungkin lupa akan etika mereka yang galau memilih. Anak-anak SMA berusia 17 tahun, mahasiswa, dan 'swing voters'. Malah akan condong melogika Golput sebagai pilihan.Â
Karena saat dinyatakan 'banyak' pemilih yang memilih Golput via media. Maka insting menjadi bagian suatu kelompok muncul. Terbersit premis dalam fikiran mereka. Kalau mereka bisa Golput mengapa saya tidak?
Maka seolah Golput adalah kerja gotong royong. Baik itu oleh tokoh, pengamat, atau publik secara umum.Â
Dan amplifikasi gerakan Golput kini tak lepas dari pengaruh sosial media. Menurut pantauan Google Trend, beberapa indikasi nuansa Golput tidak pernah lekang dari linimasa.
Bagaimana jika dibandingkan antara frasa 'saya golput' dengan 'anti golput'. Sebuah hal yang patut kita lihat. Apakah di dunia maya orang masih menyuarakan untuk tidak Golput.
Statistik diatas tentu masih begitu sederhana. Namun hasil pencarian Google Trend bisa merepresentasi posting sosial media. Baik itu posting di Twitter, Facebook, maupun Instagram.
Namun bisa kita anggap bahwa nuansa 'bergolput' sungguh kental. Wawancara di TV dan berita tentang gerakan Golput yang kerap muncul. Perdebatan netizen yang juga tak pernah lelah mengulik 'pro-kontra' Golput. Setidaknya akan menggelorakan rasa jenuh.
Saat di lain sisi, berita bohong juga menginsinuasi Golput. Maka perdebatan dan glorifikasi Golput menjadi gerakan 'kewarasan'. Bisa jadi menggaet pengikut yang lebih banyak. Semakin besar kelompok. Semakin besar keyakin dan rasa percaya diri atas pilihan Golput.
Tentunya monolog dan dialog para 'Golputers' tak lepas dari pilihan ini adalah benar. Karena merasa tidak ada calon dari Pilpres atau Pileg yang dianggap ideal. Atau karena hoaks Pilpres membuat mereka jengah dan muak. Dua hal ini seolah menguatkan keyakinan Golput mereka.
Semakin Golputers disudutkan atas pilihan mereka. Semakin akan ada perlawanan. Dan di dalam lubuk hati mereka tercipta sebuah keyakinan bahwa Golput adalah kebenaran.
Dan sekali lagi, sayangnya isu gerakan Golput ini dibuat bancakan. Baik via media arus utama atau sosial media. Propagandis Golput bebas menyuarakan aspirasi mereka. Publik yang masih awam dan gamang dalam Pemilu bisa saja terjebak premis yang mereka buat.
Salam,
Solo, 30 Januari 2018 |Â 09:37 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H