Pendahuluan
Pedagang di trotoar atau sering kita sebut pedagang kaki lima memiliki sejarahnya sendiri. Gambaran cara berdagang mereka menggambarkan sebuah paradoks. Di satu sisi, pedagang kecil dan sepele ini menunjang ekonomi individu, kota bahkan negara. Namun pahitnya, mereka sering dianggap kumuh, tidak tertib, dan sembarang berjualan di trotoar.
Perjuangan pedagang kecil ini pun tidak sampai dengan ditertibkan aparat yang tak kadang represif. Ada saja oknum yang mengeksploitasi mereka dengan meminta jatah. Belum lagi komunitas pejuang hak pejalan kaki. Di satu sisi, banyak pejalan kaki juga dimudahkan akan kehadiran pedagang kaki lima menggelar lapaknya.
Dan sejarah perebutan kuasa trotoar atau jalan oleh penggunanya dan pedagang telah lama terjadi. Berikut sedikit sejarah singkat pedagang di trotoar jalan ini.
Jalur Sutra dan Warisan Romawi Kuno
Jalur Sutra (Silk Road) yang membentang dari Jawa sampai Eropa di abad 300 SM, mungkin adalah awal komersialisasi lahan berjualan di pinggir jalan. Barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, rempah, kulit samak, sampai sutra digelar di jalan kota Tiongkok di dinasti Han. Atau para pedagang batu berharga di jalan di kota Susa di Persia (Iran masa kini).
Sejak 2.000 tahun lalu para pedagang sudah memadati jalan-jalan di kota Romawi Kuno. Para penduduk kota Roma misalnya, menjual roti di sebuah bar terbuka di pinggir jalan yang disebut couponae. Sedang pada hari-hari besar, banyak pedagang yang berkerumun di macellum untuk berdagang makanan.
Dan tradisi pedagang di jalan ini dibawa saudagar ke negri Inggris mulai abad ke 14. Sebuah daerah di London yang bernama Leadenhall Market, dahulu adalah tempat berkumpulnya pedagang kaki lima. Snack seperti shepe fete atau strabery rype dijual para perempuan dengan keranjang yang disunggi di atas kepala.Â
Karena populasi kota London mencapai lebih dari 3 juta orang di tahun 1871. Pedagang jalanan di London tumbuh menjadi 6.000 vendor. Para costermonger atau pedagang jalan ini banyak menjajakan makanan. Seperti acar whelks (sejenis kerang-kerangan), sup kacang, ikan goreng sampai yang umum dijumpai seperti pie. Baru di abad 20, kuliner dari India, Asia dan Afrika dijajakan di jalanan kota London.
Pedagang di Trotoar Abad 20 dan Problematikanya
Di negara lain seperti Mesir, barang lebih ekstrim dijual di pinggir jalan. Sejak dikolonisasi oleh Napoleon di abad 1800-an, kebudayaan Mesir Kuno menjadi banyak menjadi perhatian orang Barat. Tak ayal, banyak situs kuno di Mesir dijebol. Dan mumi berusia ratusan/ribuan tahun pun dicuri. Mumi-mumi ini pun dijual bebas di pinggir jalan sejak 1865. (foto di bawah)
Di kota-kota di Spanyol dan Portugal pedagang ini dijuluki vendedores ambulantes. Istilah ini berarti pedagang (vendor) darurat karena harus berpindah-pindah. Di Italia dijuluki hanya ambulantes. Di Argentina pedagang jalanan dijuluki manteros yang berarti pedagang selimut (manta/mantle). Di Brazil dijuluki camel.
Saat ini di India, diperkirakan ada 10 juta pedagang di trotoar. Pedagang di trotoar di Mumbai yang tertinggi mencapai 250.000 vendor. Jutaan pedagang ini lalu membentuk National Association of Street Vendor of India (NASVI). Lembaga ini menyuarakan lebih dari 700 organisasi vendor untuk perundangan yang mengatur kesejahteraan dan ketertiban pedagang di trotoar di tahun 2014.
Di Sri Lanka, pedagang di jalan/trotoar malah menghadapi problem pelik. Ribuan pedagang makanan yang dianggap turut mendorong ekonomi kota. Kini semakin represif ditertibkan oleh pemerintah kota seperti Colombo. Menurut laporan di tahun 2002, lapak/gerobak para pedagang makanan di jalan ini sampai dibakar oleh pihak aparat ketertiban kota.
Kota di Thailand seperti Bangkok penuh sesak dengan pedagang di trotoar. Setidakny ada 3 alasan menjamurnya pedagangan ini. Pertama tradisi makan di luar (jajan) orang Thailand, lalu ada tingkat urbanisasi, dan jumlah wisatawan. Namun, sudah lama para penjaja makanan dan cinderamata di Bangkok dianggap penyebab kemacetan.
Kucing-kucingan antara penjual di trotoar dengan aparat penertiban kota masih sering terjadi. Regulasi kesehatan yang ketat juga menyulitkan para pedagang ini. Ditambah model sewa tempat atau lokasi jualan yang dianggap kian memberatkan. Para jau gwei di kota Hong Kong masih sering dilarang berjualan terutama saat Lunar Year atau Imlek.
Di tahun 1998, jumlah pedagang jalanan di Singapura mencapai 23 ribu lebih. Dengan hampir 70% berjualan makanan, pedagangan makanan tradisional dan modern mulai seimbang. Namun, pengawasan ketat dinas kesehatan dan kebersihan membatasi ketat pedagang ini. Di sisi lain, lapangan pekerjaan dari model perdagangan di jalanan ini membantu perekonomian.Â
Di ibu kota Afrika Selatan, Johannesburg, Â pedagang di jalanan malah turun ke jalan di tahun 2009. Para pedagang di jalanan ini memprotes represifnya penertiban dan aturan berdagang di Johannesburg. Sedang penduduk kota yag di didominasi orang kulit hitam terkungkung kemiskinan. Berdagang di jalanan adalah salah satu mata pencaharian mereka.
Indonesia, Antara Jalur Sutra dan Jakarta
Perjalanan komoditas Jalur Sutra juga melalui kerajaan Sriwijaya dan Samudrai Pasai. Sebagai kerajaan besar, Sriwijaya menyebar dari Jawa, Sumatera sampai ke Malaysia dan Kamboja di abad ke 6-7 Masehi. Sedang kerajaan Samudra Pasai yang tubuh di abad ke 13 membawa serta pedagang dari Timur Tengah dalam perdagangan.
Kedua kerajaan Nusantara Kuno ini umumnya memperdagangkan rempah dan hasil laut. Para pedagang mungkin akan berkumpul di pelataran kota atau alun-alun. Kerajaaan Samudra Pasai di abad ke 13 terkenal dengan kualitas ladanya. Â Mungkin pedagang lokal maupun pendatang akan membuka lapaknya di pinggir jalan yang ramai.
Kota-kota perdagangan pun mulai muncul saat Belanda menduduki Indonesia. Kota-kota seperti Cirebon, Semarang, dan Batavia menjadi sentra pertukaran komoditas waktu itu. Gedung Niaga di kota Kebumen, contohnya, dulu ramai dengan pedagang tembakau dan rempah lokal dan internasional. Bisa jadi para pedagang tembakau lokal dan antar pulau akan memenuhi jalan Yos Sudarso di Cirebon.
Sejak abad ke 15 sampai 16, Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) menjadi rebutan kerajaan dan VOC. Diubah menjadi Batavia di awal abad 17 oleh Belanda. Lalu Jayakarta dan sampai bernama Jakarta di saat pendudukan Jepang abad ke-19. Kota yang penuh dengan transaksi perdagangan ini disebut sebagai Permata Asia pada waktu itu.
Para pedagang yang kebanyakan orang Tionghoa akan berdagang di pusat kota Batavia waktu itu. Daerah seperti Glodok, Pinangsia dan Jatinegara menjadi pusat konsentrasi perdagangan orang Tionghoa di awal abad ke-18. Sedang orang Batavia banyak tinggal kantor dagang sekaligus rumah tinggal (Nassau Huis) di sekitaran Ciliwung.
 Sejak kemerdekaan, Jakarta tetap menjadi sentra perdagangan. Di tahun 70-an, pasar seperti Blok-M, stasiun Jakarta Kota, dan Pasar Senen dipadati pedangan di trotoar. Walau tidak seramai sekarang, pedagang kaki lima masih menghiasi trotoar. Ditambah arus urbanisasi, Jakarta hampir tiap minggu diramaikan razia pedagang kaki lima.
Mungkin jumlah ini tidak menghitung pelapak di trotoar jalan. Mereka yang berdagang dengan gerobak atau lapak sementara yang memenuhi sekitaran stasiun atau terminal. Selain menyebabkan padatnya lalulintas. Para pelapak liar di trotoar ini tak ayal memakan hak para pejalan kaki. Penertiban yang ada bisa diakali dan kadang kucing-kucingan dengan petugas.
Mengendalikan para PKL liar pun tak jarang dilakukan sporadis dan kuratif semata. Seperti penertiban PKL di Tanah Abang dan Jalan Jati Baru yang terus menimbulkan polemik. Pembenahan malah tidak bisa mengatur ketertiban pedagang yang berjualan di sekitara trotoar Tanah Abang. Arus lalulintas pun terus macet dan tak tertata.
Perdagangan informal seperti berdagang di trotoar sudah ada sejak jaman dahulu. Yang masih serupa adalah jenis komoditas dagang dan permasalahannya. Namun, dalam polemik ini ekonomi pun terus tumbuh dan menggeliat di tiap jaman dan negara.
Hak pejalan kaki akan terus menjadi korban para pedagang di trotoar. Mereka kadang lebih galak dari pejalan kaki yang memang memiliki hak. Pihak aparat penertib kadang kalah jumlah, kalah pintar, dan kalah frekuensi kehadiran di trotoar.Â
Entah mengapa, para pejalan kaki pun merasa dimudahkan. Gorengan di pojok perempatan ramai akan terus kembali didatangi. Atau para pelapak baju atau sepatu KW akan terus ramai walau sering ditertibkan. Sebuah paradoks tersendiri yang bagi beberapa dimaklumi.
Referensi: ancient.eu/foodinroamanworld | ancient.eu/silkroad| howafrica.com | inclusivecity.com | jejakpiknik.com | kompas.com | liputan6.com | londonist.com | spoonuniversity.com | theglobalist.com | wikipedia.com/jaguwei | wikipedia.com/bataviaÂ
Salam,
Solo, 24 Januari 2019 |Â 01:29 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H