Sejak abad ke 15 sampai 16, Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) menjadi rebutan kerajaan dan VOC. Diubah menjadi Batavia di awal abad 17 oleh Belanda. Lalu Jayakarta dan sampai bernama Jakarta di saat pendudukan Jepang abad ke-19. Kota yang penuh dengan transaksi perdagangan ini disebut sebagai Permata Asia pada waktu itu.
Para pedagang yang kebanyakan orang Tionghoa akan berdagang di pusat kota Batavia waktu itu. Daerah seperti Glodok, Pinangsia dan Jatinegara menjadi pusat konsentrasi perdagangan orang Tionghoa di awal abad ke-18. Sedang orang Batavia banyak tinggal kantor dagang sekaligus rumah tinggal (Nassau Huis) di sekitaran Ciliwung.
 Sejak kemerdekaan, Jakarta tetap menjadi sentra perdagangan. Di tahun 70-an, pasar seperti Blok-M, stasiun Jakarta Kota, dan Pasar Senen dipadati pedangan di trotoar. Walau tidak seramai sekarang, pedagang kaki lima masih menghiasi trotoar. Ditambah arus urbanisasi, Jakarta hampir tiap minggu diramaikan razia pedagang kaki lima.
Mungkin jumlah ini tidak menghitung pelapak di trotoar jalan. Mereka yang berdagang dengan gerobak atau lapak sementara yang memenuhi sekitaran stasiun atau terminal. Selain menyebabkan padatnya lalulintas. Para pelapak liar di trotoar ini tak ayal memakan hak para pejalan kaki. Penertiban yang ada bisa diakali dan kadang kucing-kucingan dengan petugas.
Mengendalikan para PKL liar pun tak jarang dilakukan sporadis dan kuratif semata. Seperti penertiban PKL di Tanah Abang dan Jalan Jati Baru yang terus menimbulkan polemik. Pembenahan malah tidak bisa mengatur ketertiban pedagang yang berjualan di sekitara trotoar Tanah Abang. Arus lalulintas pun terus macet dan tak tertata.
Perdagangan informal seperti berdagang di trotoar sudah ada sejak jaman dahulu. Yang masih serupa adalah jenis komoditas dagang dan permasalahannya. Namun, dalam polemik ini ekonomi pun terus tumbuh dan menggeliat di tiap jaman dan negara.
Hak pejalan kaki akan terus menjadi korban para pedagang di trotoar. Mereka kadang lebih galak dari pejalan kaki yang memang memiliki hak. Pihak aparat penertib kadang kalah jumlah, kalah pintar, dan kalah frekuensi kehadiran di trotoar.Â
Entah mengapa, para pejalan kaki pun merasa dimudahkan. Gorengan di pojok perempatan ramai akan terus kembali didatangi. Atau para pelapak baju atau sepatu KW akan terus ramai walau sering ditertibkan. Sebuah paradoks tersendiri yang bagi beberapa dimaklumi.
Referensi: ancient.eu/foodinroamanworld | ancient.eu/silkroad| howafrica.com | inclusivecity.com | jejakpiknik.com | kompas.com | liputan6.com | londonist.com | spoonuniversity.com | theglobalist.com | wikipedia.com/jaguwei | wikipedia.com/bataviaÂ
Salam,
Solo, 24 Januari 2019 |Â 01:29 pm