Di kota-kota di Spanyol dan Portugal pedagang ini dijuluki vendedores ambulantes. Istilah ini berarti pedagang (vendor) darurat karena harus berpindah-pindah. Di Italia dijuluki hanya ambulantes. Di Argentina pedagang jalanan dijuluki manteros yang berarti pedagang selimut (manta/mantle). Di Brazil dijuluki camel.
Saat ini di India, diperkirakan ada 10 juta pedagang di trotoar. Pedagang di trotoar di Mumbai yang tertinggi mencapai 250.000 vendor. Jutaan pedagang ini lalu membentuk National Association of Street Vendor of India (NASVI). Lembaga ini menyuarakan lebih dari 700 organisasi vendor untuk perundangan yang mengatur kesejahteraan dan ketertiban pedagang di trotoar di tahun 2014.
Di Sri Lanka, pedagang di jalan/trotoar malah menghadapi problem pelik. Ribuan pedagang makanan yang dianggap turut mendorong ekonomi kota. Kini semakin represif ditertibkan oleh pemerintah kota seperti Colombo. Menurut laporan di tahun 2002, lapak/gerobak para pedagang makanan di jalan ini sampai dibakar oleh pihak aparat ketertiban kota.
Kota di Thailand seperti Bangkok penuh sesak dengan pedagang di trotoar. Setidakny ada 3 alasan menjamurnya pedagangan ini. Pertama tradisi makan di luar (jajan) orang Thailand, lalu ada tingkat urbanisasi, dan jumlah wisatawan. Namun, sudah lama para penjaja makanan dan cinderamata di Bangkok dianggap penyebab kemacetan.
Kucing-kucingan antara penjual di trotoar dengan aparat penertiban kota masih sering terjadi. Regulasi kesehatan yang ketat juga menyulitkan para pedagang ini. Ditambah model sewa tempat atau lokasi jualan yang dianggap kian memberatkan. Para jau gwei di kota Hong Kong masih sering dilarang berjualan terutama saat Lunar Year atau Imlek.
Di tahun 1998, jumlah pedagang jalanan di Singapura mencapai 23 ribu lebih. Dengan hampir 70% berjualan makanan, pedagangan makanan tradisional dan modern mulai seimbang. Namun, pengawasan ketat dinas kesehatan dan kebersihan membatasi ketat pedagang ini. Di sisi lain, lapangan pekerjaan dari model perdagangan di jalanan ini membantu perekonomian.Â
Di ibu kota Afrika Selatan, Johannesburg, Â pedagang di jalanan malah turun ke jalan di tahun 2009. Para pedagang di jalanan ini memprotes represifnya penertiban dan aturan berdagang di Johannesburg. Sedang penduduk kota yag di didominasi orang kulit hitam terkungkung kemiskinan. Berdagang di jalanan adalah salah satu mata pencaharian mereka.
Indonesia, Antara Jalur Sutra dan Jakarta
Perjalanan komoditas Jalur Sutra juga melalui kerajaan Sriwijaya dan Samudrai Pasai. Sebagai kerajaan besar, Sriwijaya menyebar dari Jawa, Sumatera sampai ke Malaysia dan Kamboja di abad ke 6-7 Masehi. Sedang kerajaan Samudra Pasai yang tubuh di abad ke 13 membawa serta pedagang dari Timur Tengah dalam perdagangan.
Kedua kerajaan Nusantara Kuno ini umumnya memperdagangkan rempah dan hasil laut. Para pedagang mungkin akan berkumpul di pelataran kota atau alun-alun. Kerajaaan Samudra Pasai di abad ke 13 terkenal dengan kualitas ladanya. Â Mungkin pedagang lokal maupun pendatang akan membuka lapaknya di pinggir jalan yang ramai.
Kota-kota perdagangan pun mulai muncul saat Belanda menduduki Indonesia. Kota-kota seperti Cirebon, Semarang, dan Batavia menjadi sentra pertukaran komoditas waktu itu. Gedung Niaga di kota Kebumen, contohnya, dulu ramai dengan pedagang tembakau dan rempah lokal dan internasional. Bisa jadi para pedagang tembakau lokal dan antar pulau akan memenuhi jalan Yos Sudarso di Cirebon.