Kalau saya beri judul hoaks yang mendorong Golput. Maka akan banyak orang yang skeptis dan urung melanjutkan membaca. Atau malah sinis karena tidak dilampiri data-data empiris. Lalu mengapa menggunakan kata 'menginsinuasi'?
Insinuasi sendiri berarti menyampaikan pesan dengan subtil atau terselubung. Pesan subtil kadang tidak hanya tersirat. Tetapi terdefinisi secara tidak biasa. Dan dalam diseminasi hoaks politik yang kian masif. Insinuasi untuk golput kian kentara.
Dari potensi 20% golput pada Pemilu 2019. Survei Indikator Politik melihat ada tendensi hoaks berdampak pada golput. Walau dampak hoaks tidak ditera dengan angka. Sifat apatis pada Pemilu dan kemajuan bangsa masih mengungkung pola fikir pendukung golput.
Setidaknya ada dua efek yang dirasa saat hoaks hampir setiap saat membanjiri linimasa kita.
Pertama, rasa muak atau jengah pada Pilpres. Hampir setiap berita atau peristiwa selalu muncul berita bohongnya. Tak jarang emosi pun tersulut. Dan akhirnya masa bodo dengan Pilpres.
Bahkan berita yang benar-benar difabrikasi akhirnya masuk ke media mainstream. Klarifikasi cenderung lambat. Karena fakta yang ada harus dihimpun dan disinkronisasi. Karena cek fakta yang gegabah dan salah tentu menciderai reputasi institusi pencari fakta.
Saat klarifikasi sudah dibuat. Hoaks baru bermunculan di linimasa Facebook. Tak jarang pula pernyataan salah diklarifikasi oknum bersangkutan. Kadang tweet atau postingan mereka pun dihapus lalu merasa tidak bersalah.
Kedua, rasa bosan mengikuti perkembangan Pilpres/Pileg. Akun atau portal berita yang terkait Pilpres/Pileg mulai diblok/di-unfollow. Karena ingin linimasa lebih sehat dan hygene dari isu-isu politik.
Hoaks dari kedua kubu 01 atau yang diduga dari kubu 02 di-skip saja. Tidak perlu lagi membaca klarifikasi yang ada. Toh akan ada klarifikasi dan cek fakta yang berikut-berikutnya. Rasa jenuh pada dinamika konflik linimasa dianggap membuang waktu, tenaga dan kuota saja.
Kedua efek negatif banjir hoaks yang melanda tadi lalu menginsinuasi golput. Terjadi kegamangan dan kekalutan fikiran mencerna semua informasi. Memilih golput bisa jadi alternatif terakhir.
Mungkin Pilgub Jateng bisa dijadikan contoh. Walau dasar faktual empiris masih butuh riset lebih lanjut. Hasilnya menyimpulkan suara abstain berbeda tipis dengan hasil total suara pasangan terpilih. Dari 27 juta lebih pemilih, hanya 18 juta pemilih yang memberikan hak pilihnya. Ganjar-Yasin mendapat 10 juta lebih suara. Berbeda tipis dengan 9 juta lebih pemilih yang memilih abstain.Â
Walau angka 9 juta sudah barang tentu memiliki beragam kendala teknis untuk memilih saat Pilgub. Namun bisa dikatakan, mungkin ada banyak yang terinsinuasi berita hoaks pada Pilgub Jateng 2018 lalu.
Walau contoh insinuasi hoaks pada Pilgub Jateng 2018 diatas dapat dikatakan 'intangible'. Alias tidak masuk akal. Namun, apakah bisa dipastikan memilih di Pemilu menggunakan akal atau logika?Â
Bagaimana jika memilih di Pemilu berdasar instrumen identitas seperti agama, ideologi, suku atau etnis. Atau instrumen finasial seperti uang, proyek, atau gratifikasi lain. Bahkan berdasar pragmatisme seperti ikatan keluarga, karena kenal, atau penampilan.
Namun di lapangan, insinuasi hoaks pada golput bisa kita rasa. Banyak keluarga, saudara atau teman yang bosan dan muak pada hoaks Pemilu. Lalu diam-diam memilih golput. Walau, mereka terlihat netral atau cenderung tak berkomentar banyak tentang Pemilu di linimasa.
Insinuasi gelombang golput ini memang tidak selalu disampaikan tersirat. Namun metode propaganda Frustration, Uncertainty and Doubt (FUD) yang ada mendorong secara klandestin mindset banyak orang untuk golput.Â
Salam,
Solo, 21 Januari 2019
02:03 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H