Mungkin Pilgub Jateng bisa dijadikan contoh. Walau dasar faktual empiris masih butuh riset lebih lanjut. Hasilnya menyimpulkan suara abstain berbeda tipis dengan hasil total suara pasangan terpilih. Dari 27 juta lebih pemilih, hanya 18 juta pemilih yang memberikan hak pilihnya. Ganjar-Yasin mendapat 10 juta lebih suara. Berbeda tipis dengan 9 juta lebih pemilih yang memilih abstain.Â
Walau angka 9 juta sudah barang tentu memiliki beragam kendala teknis untuk memilih saat Pilgub. Namun bisa dikatakan, mungkin ada banyak yang terinsinuasi berita hoaks pada Pilgub Jateng 2018 lalu.
Walau contoh insinuasi hoaks pada Pilgub Jateng 2018 diatas dapat dikatakan 'intangible'. Alias tidak masuk akal. Namun, apakah bisa dipastikan memilih di Pemilu menggunakan akal atau logika?Â
Bagaimana jika memilih di Pemilu berdasar instrumen identitas seperti agama, ideologi, suku atau etnis. Atau instrumen finasial seperti uang, proyek, atau gratifikasi lain. Bahkan berdasar pragmatisme seperti ikatan keluarga, karena kenal, atau penampilan.
Namun di lapangan, insinuasi hoaks pada golput bisa kita rasa. Banyak keluarga, saudara atau teman yang bosan dan muak pada hoaks Pemilu. Lalu diam-diam memilih golput. Walau, mereka terlihat netral atau cenderung tak berkomentar banyak tentang Pemilu di linimasa.
Insinuasi gelombang golput ini memang tidak selalu disampaikan tersirat. Namun metode propaganda Frustration, Uncertainty and Doubt (FUD) yang ada mendorong secara klandestin mindset banyak orang untuk golput.Â
Salam,
Solo, 21 Januari 2019
02:03 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H