Ironi Verifikasi Teman Sendiri

Mungkin Anda sendiri pernah menemukan ilustrasi berikut:

"Teman-teman. Apa benar posting ini benar ya? Kayanya hoaks...??" (lalu berbagi link di grup WhatsApp)

"Eh, gw dapet video penculikan nih. Benaran ga ini ya?" (sembari posting video tadi di timeline Facebook)

"Mohon verifikasi @mention @mention, dst. Apa bener foto ini ya?" (dan berkicau di linimasa Twitter sambil me-mention teman dan selebtwit)

Atau beragam ilustrasi dengan narasi yang berbeda. Bentuk posting iseng-iseng diatas tentu bukan saja bertanya. Namun maksud implisitnya adalah mencari verifikasi. Si pemosting ingin tahu kebenaran atau fakta dari sebuah informasi, baik narasi, link, video, atau foto.

Apresiasi patut diberikan untuk si pemosting. Karena ia berusaha mencari fakta dibalik sebuah informasi digital. Satu langkah yang baik guna membuat informasi tadi hygiene alias bersih atau sehat. Dan adagium sharing is caring tetap kita yakini di dunia digital.

Namun kita perlu berhati-hati dengan model verifikasi teman sendiri seperti diatas. Karena setidaknya ada 3 efek samping dari verifikasi model di atas:

Pertama, kabar bohong malah terdistribusi lebih luas. Dengan kata lain, teman kita bertanya ke temannya. Dari temannya teman, lalu bertanya ke teman-teman lainnya. Begitu seterusnya sampai mungkin tidak terhingga.

Maka rantai persebaran hoaks itu sendiri semakin luas dan kuat. Sebuah hal yang ingin dicapai si perekayasa kabar bohong. Yaitu hoaks jadi viral dan luas jangkauan dan cakupan hoaks. Dan kita menjadi agen sukarela. Sedang si perekayasa mungkin diuntungkan secara finansial untuk melakukannya. 

Kedua, informasi bodong tadi semakin sulit dilacak pembuat dan penyebar awalnya. Walau secara digital forensik mencari pembuat atau pemosting awal hoaks itu mungkin. Sedang sebaran hoaks lebih cepat daripada verifikasi faktanya. 

Aparat mungkin tidak memproses semua laporan berita hoaks. Karena sejauh saya tahu, hoaks yang diproses adalah yang mampu menimbulkan konflik sosial. Sedang setiap hari puluhan hoaks beredar di linimasa kita bukan. 

Ketiga, sangat tidak mungkin kita mendapat jawaban solutif hoaks tersebut. Karena mungkin teman WAG senang guyon atau sepi berchit-chat ringan. Pencarian fakta atas hoaks yang kita maksud berbuah percuma. Posting kita cuma dibaca atau hilang ditelan posting lain di linimasa.

Pun karena tidak semua teman kita peduli atas kabar bohong. Apa-apa yang tidak terkait dirinya mungkin tidak ditanggapi. Bisa juga solusi didapat tetapi tidak jelas atau menyeluruh. Karena disambi teman kita bekerja atau malah berganti fokus obrolan lain.

Sehingga, ada baiknya mencari verifikasi atas kabar hoaks dilakukan dengan cara-cara berikut.

Gunakan Hoax Buster Tools (HBT) dari Mafindo. Mengunduh aplikasi HBT adalah solusi praktis mencari verifikasi. Karena debunk atau pembuktian sudah dilakukan tim. Dan update macam dan jenis hoaks pun kekinian. Hoaks yang umumnya beredar di sosmed akan dibongkar menyeluruh.

Konsultasikan dengan rekan yang faham dinamika dunia sosial. Mencari informasi hoaks kepada orang-orang ini bisa menjadi acuan kita. Namun tentu, jawaban tidak sesegera didapat. Dan usahakan dengan japri/PM/DM dalam bertanya agar hoaks malah jadi viral.

Pantau posting akun-akun verifikator hoaks di Indonesia. Akun seperti @CCICPolri, @TurnBackHoax, @indohoaxbuster, @JabarSaberHoaks, dsb. Bisa menjadi acuan realtime menyoal per-hoaks-an. Tentunya kita harus bersabar jika hoaks baru kita temukan. Karena tim verifikator mereka butuh waktu mencari fakta yang lengkap.

Jadi, mencari verifikasi hoaks pada teman sendiri bukan langkap prioritas kita. Karena efek samping dari model verifikasi seperti ini malah menjadi bumerang kita sendiri. Jangan-jangan kita malah menjadi penyebar hoaks itu sendiri. Seperti bentuk tweet Andi Arief soal 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos kemarin.

Mencari fakta atas kabar hoaks itu juga langkah baik. Namun di era tsunami informasi yang cepat viral ini. Baiknya meng-install HBT, berkonsultasi dengan pakarnya, atau memonitor akun verifikator hoaks adalah beberapa alternatif.

Salam,
Solo, 07 Januari 2018
11:54 am