Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Grup WhatsApp dan Indikasi Sikap Acuh Tak Acuh

20 Desember 2018   20:20 Diperbarui: 20 Desember 2018   21:54 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun dengan aplikasi WhatsApp (WA) bisa membuat grup. Dari grup yang beranggotakan 3 orang saja. Sampai grup berisi ratusan orang dengan grup yang berjilid-jilid bak sebuah aksi pun ada. WhatsApp Group (WAG) pun sudah menjadi bagian kebudayaan komunikasi dan interaksi di dunia digital.

Saya bergabung dan digabungkan dalam puluhan WAG. Beberapa rekan berkata kalau mereka bergabung sampai ratusan WAG. Namun saya pribadi dan rekan-rekan sering berseloroh. Kalau tidak semua WAG adalah favorit atau prioritas mereka.

Menjadi WAG prioritas tentu memiliki parameter subjektif. Bisa jadi WAG beranggota 3 orang lebih bermakna dari yang berisi ratusan orang. WAG yang terkesan informal, tanpa dikte beberapa orang, atau bicara politik mungkin juga lebih difavoritkan beberapa orang.

Namun jika melihat demografi WAG sendiri. Beberapa atau bahkan WAG cenderung diacuh, ditinggalkan, atau dikunjungi jika memang ada info yang sifatnya urgent.

Dampaknya, terjadi banalitas atau kejenuhan komunikasi. Bahkan tak jarang, pada beberapa waktu pengacuhan pada WAG favorit pun bisa terjadi.

Secara visual, puluhan deret WAG dengan jumlah chat dibalut warna merah cukup intimidatif. Ingin rasanya melihat notifikasi chat WAG tadi. Tapi karena WAG tadi terlalu formal, selalu bicara politik, dan didominasi beberapa orang (baca: oknum) saja. Jadi enggan membukanya.

WAG seperti ini secara personal umumnya sudah dirasa jenuh sejak awal masuk. Mulai dari melihat siapa saja yang ikut dalam sebuah WAG. Sampai posting informasi yang tak jarang dimonopoli dan difokuskan pada satu isu saja.

Yang terjadi kadang formalitas interaksi. Dengan kata lain, ping-pong chat cukup seadanya. Jika admin WAG atau tokoh berpengaruh meminta respon pun tak jarang ditanggapi sesuai permintaan. Walau mungkin dalam hati tidak setuju dengan cara pandang/interaksi yang ada.

Sejak awal memang sudah ada sikap acuh pada WAG formal dan 'dipaksakan' seperti ini. Bisa jadi, notifikasi chat yang ada tidak dihiraukan. Bahkan bertumpuk sampai ratusan chat dalam waktu yang cukup lama. Mau keluar WAG tadi cukup sungkan. Tapi ada tips-tips yang bisa dilakukan seperti disini.

WAG favorit pun tak jarang cukup terbengkalai tanpa interaksi beberapa waktu. Bisa karena kesibukan anggotanya, chat WAG bisa dirasa cukup tidak interaktif seperti biasanya. Dan seolah ada rasa yang bersambut. Jika banyak anggota WAG yang diam, maka yang lain pun ikut diam.

Namun yang saya pribadi amati. Pengaruh WAG yang kaku dan sengaja diacuhkan pun berdampak tak langsung pada WAG prioritas. Kejenuhan pola interaksi WAG dengan sifat disasosiatif (beda lokasi) dan simbolis (perasaan diwakili emot/meme). Bisa jadi membuat WAG prioritas serasa membosankan.

Bukan karena seseorang anggota WAG benci atau suka pada seseorang. Karena benci atau suka sudah menjadi bagian interaksi sosial. Maka berbeda dengan WAG yang lebih abstrak dan tentatif dalam menentukan rasa benci atau suka.

Memilih diam dan menjadi silent reader, bukan berarti seorang anggota WAG benci. Pun tidak berarti orang tersebut membenci. Sehingga acuh takacuh antar grup biasanya sulit diprediksi dan diukur. Berbeda dengan petunjuk mimik, gestur, atau intonasi seseorang saat bertemu muka langsung.

Sehingga, pola acuh tak acuh bisa jadi muncul pada grup WAG formal maupun prioritas. Saat WAG formal keenganan interaksi ditunjukkan dengan diam, merespon seperlunya, sampai tidak membuka chat walau online bisa dilakukan. Sedang pada WAG prioritas, hal ini begitu sulit difahami. Karena indikasi interaksi yang diasosiatif dan simbolis belum bisa mewakili hakikat komunikasi sosial kita.

Artikel-artikel lain saya tentang WhatsApp:

Salam,

Solo, 20 Desember 2018

08:19 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun