Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Konten Dimanipulasi

16 Desember 2018   22:16 Diperbarui: 16 Desember 2018   22:18 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Legal Recruiter Manipulate - Ilustrasi: bcgsearch.com

Pada tahun 1761 di Toulouse Perancis, Marc-Antoine Calas melakukan bunuh diri. Namun yang diakui sang ayah dihadapan polisi bahwa ia membunuh anaknya sendiri Marc. Jean sengaja melakukannya karena sang anak hendak berbalik menjadi pemeluk Protestan. Sedang menjadi Protestan (Huguenot) pada masa pemerintahan Perancis yang kental dengan keyakinan Katolik adalah resiko tersendiri waktu itu.

Sebagai seorang saudagar, mendapati anaknya bunuh diri adalah aib keyakinan Katolik waktu itu. Dalam tradisi Katolik di Perancis waktu itu, korban bunuh diri mayatnya akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Konon ayahnya sengaja memanipulasi pengakuan kalau ia membunuh sang anak. Namun rumor yang berkembang, Jean-Calas didesak berkata demikian untuk menyembunyikan identitas keluarga Jean yang dahulu adalah Huguenot.

Manipulasi kabar atau informasi sudah ada sejak dulu. Namun bagaimana jika di era digital informasi dengan konten termanipulasi beredar? Informasi yang sesungguhnya memang pernah terjadi. Namun ada manipulasi penyampaian yang disengaja. Misinformasi jenis ini umumnya memiliki kepentingan propaganda dan tak jarang provokatif.

Konten Dimanipulasi Untuk Memanipulasi

Dilansir dari sciencedaily.com, University of California Davis mengadakan sebuah riset online  di tahun 2018. Riset yang melibatkan lebih dari 3.000 responden usia 20-87 ini berfokus pada kejelian responden pada foto termanipulasi. Dari 28 foto yang ditunjukkan Amazon Mechanical Turk, kebanyakan responden mampu mengenali foto yang telah diedit, dimanipulasi, atau didistorsi.

Sejatinya kita begitu tahu dan mampu mengenali misinformasi dengan foto atau bahkan video yang diedit atau dimanipulasi. Namun riset diatas juga menyimpulkan bahwa paparan pada konten visual yang sengaja didistorsi mampu menimbulkan kebingungan, kecemasan sampai penggiringan opini secara sikap maupun tindakan nyata.

foto-prabowo-edit-fafhh-5c166400677ffb1f6733a402.jpg
foto-prabowo-edit-fafhh-5c166400677ffb1f6733a402.jpg
Di Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks (FAFHH) di Facebook, model misinformasi konten dimanipulasi juga dijumpai. Seperti hasil foto editan soal Prabowo menggunakan apparel kepasturan. Walau terlihat jelas editan (kasar) wajah Capres 02, Prabowo pada foto sebelah kiri. Sedang foto asli di sebelah kanan setelah ditelusur berasal dari sebuah blog di tahun 2014.

Guna menambah 'amunisi' propaganda posting diatas, ditambahkan narasi yang begitu provokatif. Sampai saat posting dari akun ini berhasil di-debunk, didapati 66 kali share dan 122 komentar. Sedang mungkin tidak hanya 1 akun saja yang memposting foto editan tadi. Foto asli yang dimanipulasi secara politis dan tidak bertanggung jawab seperti ini tentu dapat membuat gaduh linimasa pada masa kampanye Pilpres 2019.

Gegabah dan bersumbu pendek dalam melihat sebuah foto/video editan adalah kunci hoaks macam ini mudah disebar. Masih dari Fanspage FAFHH, video editan Presiden Jokowi yang dianggap ganjil dalam mengucap Assalamualaikum juga viral tersebar via Twitter. Video editan yang dianggap malaikat saat terjadi pemboman Masjidil Aqsa juga sempat viral. Walau video tadi berasal dari Brazil dan bukanlah malaikat asli.

Pengabur Pandangan Pada Hasil Editan

Confirmation bias atau kecendrungan perspektif kita untuk melihat apa yang kita inginkan dan fikirkan memicu pengaburan pandang teliti kita. Karena terlalu fanatik pada dogma agama, posting hoaks foto yang diberi tulisan Arab bisa dipercaya. Karena terlalu nge-fans dengan salah satu Capres, bahkan foto editan kasar pun dianggap sebagai fakta.

Apalagi ilusi komentar, like atau share yang begitu banyak pada posting foto editan kadang mengaburkan kewarasan kita. Jangan salah, banyaknya komen/like/share bisa jadi adalah kerjaan bot atau akun bodong. Akun-akun yang jumlahnya ratusan sampai ribuan yang khusus diprogram untuk mengerubungi posting ini. Ilusi mayoritas akun ini tak jarang mengundang akun asli untuk memviralkan posting hoaks.

Dan satu lagi pengabur pandangan kita, filter bubble atau perspektif bias ala linimasa sosmed. Preferensi agama, suku, daerah, sampai politik mudah diketahui dan dihitung algoritma platform sosmed. Hal inilah menyebabkan linimasa menjadi isinya serupa atau homogen. Kadang nyaris tanpa persepktif yang bersebrangan dari milik kita sendiri.

Sehingga ada baiknya terus gerakan 3S kita lakukan. Yaitu gerakan Saring Sebelum Sharing.

Jenis misinformasi sebelumnya: Satir atau Parodi, Clickbait, Konten Mengelabui, Konten Fabrikasi, Misrepresentasi Konten, Dekontekstualisasi Konten

Salam,

Solo, 16 Desember 2018

10:15 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun