Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Mari Memahami Sisi Positif "Filter Bubble"

1 Desember 2018   18:58 Diperbarui: 1 Desember 2018   20:15 1932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filter bubble sebagai sebuah "penjara algoritma" dunia digital tidak selamanya negatif. Sejak Jeff Bezos melihat potensi filter bubble untuk toko buku onlinenya di tahun 1994. Filter bubble mulai berkembang pesat dan rumit sejak saat itu.

Namun, istilah filter bubble disebut personalisasi penelusuran (personalized search) waktu itu. Istilah filter bubble dipopulerkan oleh Eli Pariser di tahun 2011. Terutama dari buku canon Pariser Filter Bubble: What the Internet is Hiding From Us menjadi referensi jurnalis dan akademis sampai saat ini.

Personalisasi personal ini menjadi basis baik bagi platform sosmed dan mesin peramban. Informasi yang relevan dan relatif homogen disajikan kepada pengguna. Parameter informasi yang digunakan seperti cookies (jejak penelusuran), gerak kursor mouse, lokasi, dan trending didapat dari pengguna saat online.

Namun seiring pesatnya teknis algoritma dalam menelusur, mempelajari, dan memprediksi kita via big data. Algoritma filter bubble kini memiliki parameter yang cukup rumit. Mulai dari preferensi politik, agama dan gender. Bahkan sampai gerak retina mata via webcam atau suara via microphone smartphone kita.

Peroonlijke zoeresltaten - Ilustrasi: mediawijsheid.nl.jpeg
Peroonlijke zoeresltaten - Ilustrasi: mediawijsheid.nl.jpeg
Setidaknya ada 3 aspek positif yang bisa kita rasakan dari filter bubble ini. Baik itu saat menelusuri informasi yang kita cari. Ataupun berinteraksi via sosial media.

Pertama, filter bubble membuat kita tidak tersesat di belantara informasi. Menelusur sebuah informasi dengan ribuan di antaranya kurang relevan dianggap membuang waktu, tenaga, dan kuota. Dan filter bubble ini realitasnya menyelamatkan kita.

Misalkan kita mengetik kata "Mesir" dalam mesin peramban personal kita. Maka yang muncul dalam hasil biasanya sesuai dengan rekam jejak digital kita. Jika kebetulan kita menyukai traveling. Maka yang hasil pencarian yang muncul misalnya seperti harga tiket pesawat PP termurah, objek wisata, akomodasi terbaik, dll.

Namun bagi seseorang yang jejak digital berfokus tentang berita politik. Maka yang hasil ketik kata "Mesir" yang muncul di Google bisa jadi tentang Tahrir Square, korupsi Hosni Mubarok, dan sebagainya. Maka jika orang ini ingin berwisata di Mesir. Maka relevansi pencarian pun patut menyertakan kata "Wisata Mesir".

Search Engine Google - Ilustrasi: searchengineland.com
Search Engine Google - Ilustrasi: searchengineland.com
Kedua, filter bubble memfasilitasi insting komunal kita. Terutama di sosial media, kita akan lebih cenderung mencari persamaan dari ribuan akun teman/followers. Menjadi bagian atau terlibat dalam komunitas yang asing, kontra, dan baru bisa memunculkan konflik pribadi atau sosial.

Seorang anak perempuan instingnya akan mengatakan untuk berkumpul dan bermain dengan teman perempuan. Selain menghindari perundungan dari anak lelaki walau sepermainan. Kebiasaan dan berperilaku antara anak perempuan dan laki-laki umumnya dipahami berbeda secara kultural.

Filter bubble ini menggunakan konsep sederhana ini dalam hal informasi yang disajikan pada kita. Dan kita pun cenderung menerima dan memaklumi konsep algoritma ini sebagai bagian dunia digital. Wajar jika linimasa kita jarang atau tidak pernah muncul posting yang kurang kita sukai.

Ketiga, filter bubble menjadi asisten kita di dunia digital. Mulai dari menyajikan informasi yang relevan dan relatif homogen. Lalu membuat kita merasa dunia digital begitu familiar seperti dunia nyata. Algoritma filter bubble bisa memberi kesibukan dan rekomendasi yang bahkan kita tidak perkirakan.

Platform sosmed seperti Facebook konon tahu waktu di mana kita merasa bosan atau senggang. Sehingga tak heran notifikasi kadang muncul di waktu tertentu. Kita mungkin tidak kita sadari. Tapi algoritma Facebook telah mencatat dan menghitung semua gerak-gerik kita di dunia maya. 

Notifikasi sosmed yang seolah tidak kita sadari muncul dan kita buka. Ternyata adalah cara filter bubble tetap terkoneksi dan berinteraksi di dunia digital. Dengan begitu rekomendasi sepatu baru, tempat makan, atau produk/jasa yang kita ingin dulu bisa kita ingat.  

Walau kini algoritma seperti filter bubble ini menjadi bumerang dengan efeknya yang signifikan saat ini. Seperti menginisiasi polarisasi politik, memberi ilusi kepopuleran, sampai memicu konflik horizontal tidak bisa dihindarkan.

Tinggal bagaimana kita sebagai pengguna sadar dan bijak saat terkoneksi dan berinteraksi di dunia digital.

Salam,
Solo, 01 Desember 2018
06:58 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun