Biaya kuota internet pun tidak murah bagi beberapa orangtua. Saat anak men-stream YouTube, kuota internet akan menurun tersedot banyak. Dengan tingginya frekuensi anak menonton. YouTube kadang memunculkan video dengan durasi yang lebih lama.
Yang seharusnya paket internet untuk 1 bulan bisa habis kurang dari seminggu. Saat video offline/download YouTube dirasa membosankan. Dan anak ingin melihat video channel YouTube terbaru, bisa jadi anak tantrum.Â
Belum lagi video berkonten negatif yang beredar di YouTube. Saat lengahnya pengawasan orangtua, anak bisa saja menonton. Apalagi banyak dari orangtua belum menyadari pentingnya filtering video. Atau mungkin mengunduh YouTube Kids untuk tontonan yang cenderung lebih aman.
Dampak kecanduan anak pada YouTube atau gawai secara umum pun dapat terjadi. Saat anak sudah tidak mungkin lepas dari gawai-nya. Bisa jadi ini adalah indikasi kecanduan gawai pada anak. Gejala yang mungkin muncul mulai dari kecemasan, tantrum sampai keterlambatan berbicara.
Orangtua yang sewajibnya menjadi teman dan pelindung anak pun merasa jauh dari anak. Anak bisa jadi merasa lebih gembira saat menonton YouTube daripada saat bersama orangtua. Atau saat piknik/jalan-jalan, anak lebih banyak menonton YouTube daripada bersenang-senang dengan oranguanya.
YouTube pun tidak selamanya buruk. Karena banyak dari video YouTube yang berisi konten positif. Seperti video tentang doa harian, petualangan ke alam bebas, atau video DIY membuat slime beberapa contohnya. Anak bisa terpacu untuk belajar, mengetahu, bahkan mempraktekkan kekriyaan.
Yang bisa menjadikan YouTube pengasuh kekinian adalah orangtuanya. Kemalasan orangtua untuk belajar dan memahami dunia digital dan dampaknya menjadi pemicu. Dunia digital jangan hanya dipandang sebagai dunia bergembira dan melepas kepenatan.
YouTube sebagai platform video nomor 1 dunia berisi beragam segmentasi konten. Baik itu konten positif maupun negatif pada anak, kontrol orangtua tetap harus nomor 1.Â
Salam,
Solo, 22 November 2018