Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

YouTube, Si Pengasuh Anak "Zaman Now"

22 November 2018   10:21 Diperbarui: 22 November 2018   16:38 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biaya kuota internet pun tidak murah bagi beberapa orangtua. Saat anak men-stream YouTube, kuota internet akan menurun tersedot banyak. Dengan tingginya frekuensi anak menonton. YouTube kadang memunculkan video dengan durasi yang lebih lama.

Yang seharusnya paket internet untuk 1 bulan bisa habis kurang dari seminggu. Saat video offline/download YouTube dirasa membosankan. Dan anak ingin melihat video channel YouTube terbaru, bisa jadi anak tantrum. 

Unbox Present - Foto: cinamaker.com
Unbox Present - Foto: cinamaker.com
Kedua, dampak negatif pada fisik, psikologis dan sosial anak. Anak-anak yang tidak aktif secara fisik bisa jadi memunculkan isolasi diri. Anak lebih memilih melihat YouTube daripada bersosialisasi. Atau anak lebih senang duduk memandangi YouTube daripada bermain di luar rumah atau lapangan.

Belum lagi video berkonten negatif yang beredar di YouTube. Saat lengahnya pengawasan orangtua, anak bisa saja menonton. Apalagi banyak dari orangtua belum menyadari pentingnya filtering video. Atau mungkin mengunduh YouTube Kids untuk tontonan yang cenderung lebih aman.

Dampak kecanduan anak pada YouTube atau gawai secara umum pun dapat terjadi. Saat anak sudah tidak mungkin lepas dari gawai-nya. Bisa jadi ini adalah indikasi kecanduan gawai pada anak. Gejala yang mungkin muncul mulai dari kecemasan, tantrum sampai keterlambatan berbicara.

Orangtua yang sewajibnya menjadi teman dan pelindung anak pun merasa jauh dari anak. Anak bisa jadi merasa lebih gembira saat menonton YouTube daripada saat bersama orangtua. Atau saat piknik/jalan-jalan, anak lebih banyak menonton YouTube daripada bersenang-senang dengan oranguanya.

YouTube pun tidak selamanya buruk. Karena banyak dari video YouTube yang berisi konten positif. Seperti video tentang doa harian, petualangan ke alam bebas, atau video DIY membuat slime beberapa contohnya. Anak bisa terpacu untuk belajar, mengetahu, bahkan mempraktekkan kekriyaan.

Yang bisa menjadikan YouTube pengasuh kekinian adalah orangtuanya. Kemalasan orangtua untuk belajar dan memahami dunia digital dan dampaknya menjadi pemicu. Dunia digital jangan hanya dipandang sebagai dunia bergembira dan melepas kepenatan.

YouTube sebagai platform video nomor 1 dunia berisi beragam segmentasi konten. Baik itu konten positif maupun negatif pada anak, kontrol orangtua tetap harus nomor 1. 

Salam,

Solo, 22 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun