Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cukup Bertegur Sapa, Tidak Menjadikanmu Seorang Tetangga

14 November 2018   21:42 Diperbarui: 14 November 2018   21:45 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan individualistik metropolitan menjadi fenomena yang makin dimaklumi. Setiap individu/keluarga adalah untuk diri mereka sendiri. Bersosialisasi di antara mereka pun bersifat formalitas, administratif dan pragmatis.

Bertemu dan berkumpul seluruh warga hanya saat 17 Agustus-an. Rutinitas administratif membayar iuran uang kebersihan, kerohiman, dll. Tak jarang diwakilkan orang lain bahkan datang amplopnya saja.

Sikap pragmatis pun menjadi kian marak. Tegur sapa berlandaskan basa-basi semata menjadi medium sosialisasi warga. Menyapa apa kabar atau mau pergi kemana dianggap lumrah. Namun dibalik basa-basi pragmatis ini, bukan berarti menjadi individu/keluarga menjadi tetangga.

Bayangkan hidup bertetangga namun penuh komunikasi phatic atau basa-basi ini. Yang kita lihat bukan sekadar permukaan sebuah interaksi verbal. Namun hubungan semacam ini kembali menjadi sebuah pola formal budaya kita.

Katanya kalau tidak berbasa-basi orang kita akan merasa tersinggung. Keterusterangan atau berujar to-the-point juga bukan budaya kita. Sehingga berbasa-basi menjadi alibi bagi mereka yang percaya bahwa memegang teguh budaya ke-Timur-an.

Namun, apakah bertetangga harus selalu berbasa-basi. Sedang ia/keluarganya bagian dari sebuah masyarakat/lingkungan. Dalam kurun waktu 24/7, selama 365 hari. Bahkan diulang selama beberapa tahun. Basa-basi bukan tidak menjadikan seseorang/keluarga seorang tetangga.

Tetangga yang sejauh saya tahu adalah saudara paling dekat. Walau tidak selamanya seakrab saudara. Pada tetanggalah kita berbagi, saling tolong, saling bercerita, bahkan saling merawat. Walaupun kadang ada batas-batas privacy yang harus sama-sama dihormati. 

Terlalu lama dan sering berbasa-basi dengan tegur sapa malah menimbulkan curiga. Mengapa hanya bisa senyum dan berbasa-basi. Jika tetangga kita itu bisa datang ke arisan warga, ikut kenduren, berpartisipasi dalam PKK/Karang Taruna, dsb.

Jika mereka yang cuma menegur dengan senyum adalah tetangga. Mengapa begitu tertutup untuk sekadar duduk ngopi di Poskamling warga. Apakah begitu sibuknya mereka. Sampai hari libur saja mengurung diri di dalam rumah daripada keluar untuk Kerja Bakti.

Katakanlah suatu waktu warga menolong sang  penegur sapa ini. Apa hati mereka benar-benar ikhlas membantu? Sedang usai dibantu, ia/keluarganya kembali ke aktifitasnya dulu, bertegur sapa dengan tetangganya.

Apakah ini pola bertetangga modern yang individualistik berbalut basa-basi adat ke-Timuran? 

Salam,

Solo, 14 November 2018

09:40 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun