Dari membandingkan jumlah kursi penonton di bioskop. Sampai perang foto tiket dan tagar di sosmed. Head-to-head penayangan film A Man Called Ahok (AMCA) dan Hanum dan Rangga (HDR), malah ditunggani kentalnya nuansa politik ala netizen.
Namun, ada hal yang patut ditelaah dari fenomena ini. Terjadi disrupsi demografi netizen yang dulu diam berpolitik. Mungkin kini turut ke dalam arus hiper-partisan linimasa kita.
Menurut ulasan penonton di linimasa, mereka tak merasa ada nuansa politik di dalam film AMCA dan HDR. Unsur politis malah banyak dikaitkan pada sosok yang menjadi latar cerita dalam kedua film.Â
Film AMCA menceritakan masa muda Ahok sejak di Belitung. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama adalah mantan Gubenur DKI yang tersandung kasus dugaan pelecehan ayat suci. Dan kini sedang menjalani hukuman penjaranya.
Sedang film HDR adalah perjalanan cinta dan relijius Hanum saat menjadi jurnalis di US. Hanum Rais adalah sosok dokter gigi yang gagal mendiagnosa kebohongan pengeroyokan Ratna Sarumpaet.Â
Sehingga dalam lingkup polarisasi politik yang sudah begitu jumud dan laten sejak Pilpres 2014. Kedua film ini diatribusi unsur politik. Film AMCA dianggap menjadi suar kubu pro-Jokowi. Lebih lagi, karena terjadi rekayasa kasus bernuansa SARA yang ditanggung Ahok.Â
Jikalaupun tidak ada kasus hoaks Ratna Sarumpaet, sosok Hanum akan tetap lekat dengan kubu oposisi. Apalagi beliau adalah anak dari tokoh gaek yang kian kritis dan tajam, Amien Rais. Sehingga, siapapun bisa mengasosiasi dan melabeli film HDR dengan kubu pesaing petahana.
Dan kegaduhan politis dari kedua film ini muncul begitu signifikan di linimasa sosmed. Sumbangsih filter bubble pada echo chamber perspektif politik netizen begitu terlihat.
Sedang akun @hanumrais di IG juga ramai dengan orang-orang yang serupa pandangan politiknya. Dengan didukung juga iklan media cetak dan TV, film HDR malah berani memajukan jadwal rilisnya lebih awal.
Selain geliat netizen pro-Ahok yang mempromosikan film AMCA. Daya tarik Film AMCA didukung pengisi OST artis gaek dan terkenal seperti Slank, NTRL, Iwa K. dll. Mungkin inilah yang menjadi daya tarik film AMCA selain jalan ceritanya.
Sedang pada film HDR, kentalnya campur tangan politik dan kekuasaan. Seperti munculnya edaran dari PAN, agar kadernya ikut menonton film HDR di bioskop. Hanum Rais melalui surat resmi pun meminta rektor UMS menghimbau civitas akademika untuk juga menonton film HDR.
Beberapa hari yang lalu, linimasa dan platform sosmed terbelah. Linimasa dihiasi kabar hoaks film AMCA seperti tiket gratis plus uang, dan menglorifikasi penista agama. Atau film HDR yang sembrono dikabarkan penontonnya lebih banyak dari film AMCA. Karena bisa jadi, hal ini disengaja.
Melalui kedua film ini, netizen menyatakan polarisasi mereka yang secara subtil lama terpendam. Mereka yang enggan secara frontal berdebat, nyinyir, dan ber-twitwor di linimasa kini muncul ke hadapan.Â
Unsur fundamental entertainment dalam kedua film lebih aman dan wajar menjadi aspirasi perspektif politik. Dari mereka yang selama ini diam dalam pandangan politiknya, linimasa mencatat polarisasi. Akumulasi dari polarisasi politik ini adalah kultur hiper-partisan.
Sosmed menjadi media publik yang personal dan real-time beraspirasi politik. Walau tidak sefrontal akun flop. Setidaknya linimasa sosmed seperti Facebook, Twitter, dan Instagram sudah cukup gaduh dengan keributan hiper-partisan.
Walau mungkin kegaduhan netizen akibat politik tidak soal kedua film ini saja. Namun setidaknya kita bisa melihat demografi perspektif partisan. Ternyata yang diam tidak selamanya netral.Â
Karena berusaha netral di tengah hempasan dunia digital dengan mode hiper-partisan adalah kebimbangan. Dan ujung dari kebimbangan kadang adalah memilih para pencari sensasi bukan penyuguh kerja nyata.
Salam,
Solo, 14 November 2018
10:27 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H