"Sudah. Tanya saja sama mbah Google kalau tidak percaya..."
Kiranya kalimat di atas menjadi pamungkas ketidaktahuan akan sebuah jawaban. Di era digital membawa gadget adalah membawa dunia dan seisinya. Tinggal ketik keywords utuh atau sebagian. Ditampilkanlah 'ilmu pengetahuan' di genggaman kita.
Entah darimana asalnya, Google atau mesin peramban dijuluki mbah (simbah). Mungkin karena ilmu yang dimilikinya berlimpah. Persis seperti beberapa orangtua yang bijak dan luas ilmunya.
Simbolisasi Google (Chrome, Mozilla, dll) dengan orangtua mungkin juga karena budaya kita. Orang yang berusia lanjut dan berilmu bisa menjadi rujukan, solusi, bahkan panutan. Usia lanjut juga menunjukkan istilah pengalaman memakan asam garam kehidupan.
Namun sayang, jika 'mbah Google' ini tidaklah sebijak yang kita kira. Dan ada beberapa hal yang membuat mbah Google jangan selalu dijadikan referensi kebijakan.
Pertama, mbah Google memanjakan kita sebagai penggunanya. Hasil pencarian Google terindikasi mengaplikasi filter bubble. Filter ini akan menampilkan hasil pencarian sesuai preferensi cookies, lokasi, sampai jejak digital akun sosmed.
Model filter seperti ini menimbulkan bias perspektif. Dengan kata lain, pandangan akan cenderung homogen. Walau pola algoritma filter bubble ini sering diaplikasi pada platform sosmed. Nyatanya Google sempat 'kecolongan'.
Dalam sebuah blog, Google mengaku tersandung masalah model filter bubble ini. Konten-konten dengan kualitas buruk tapi mampu menduduki ranking 1 search. Hal ini Google konon tidak mereview detail konten yang sering dikunjungi. Walau kini, hal ini terus diperbaiki Google.
Walau kabarnya kini Google sedang memperbaiki algoritma tersebut. Hasil pencarian akan dibandingkan secara pro-kontra bukan sekadar populer semata. Sehingga yang dimunculkan adalah hasil analogi beragam post/blog beragam sumber yang populer.
![Search - Ilustrasi: 1and1.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/11/05/search-5bdffff16ddcae1a9f7752c2.jpeg?t=o&v=770)
Popularitas jawaban yang berasal dari beragam sumber membuat paradoks Google. Jika jawaban hanya dipandu pada sekelompok individu dengan perspektif yang serupa. Lalu menjadikannya trending, maka tak ayal jawaban meragukan bisa didapat.
Danny Sullivan dari searchengineland.com berbagi solusi untuk masalah ini. Dengan 5 miliar pencarian per-hari, Google tidak perlu menampilkan 'one tru answer'. Hasil tampilan saat mengetik keyword atau featured snippet, membuat users cenderung membenarkan apa yang ada di laman pertama.
Keenganan user mencari jawaban di laman 2/3/4 dst pun berpengaruh besar. Apalagi saat kemalasan membaca detail dan pesan users pun minim. Tak ayal, era post-truth mungkin akan semakin menguat beberapa tahun mendatang.
Ada beberapa solusi praktis menghindari orangtua yang kurang bijak ini.Â
Menjaga privasi data kita saat berselancar via Google. Karena Google berbasis data dari Chromium yang open-source. Menjaga jejak digital kita saat menelusuri dunia maya menjadi kuncinya.Â
Dengan begitu kita dapat terhindar dari 'jahatnya' iklan, berita bohong, dan misinformasi. Coba unduh duckduckgo sebagai extension mesin peramban Chrome.
Jangan cepat percaya browser alternatif. Kadang browser atau mesin peramban ini disusupi malware. Terutama pada isu enkripsi data users yang dibawa saat online. Tak jarang dieksploitasi orang tak bertanggung jawab.
Dan tak jarang, browser alternatif hanya mengkopi dan menklasifikasi dari open-source Chromium. Walau Chromium memiliki fitur mesin peramban sendiri. Namun memang dikhususkan bagi developer dan bukan kebanyakan users awam.
Sehingga, jangan terus percaya pada si mbah Google. Mungkin karena dia pun sudah pikun dan tua. Sehingga fakta yang dulu kadang lupa. Bahkan tak jarang diganti yang baru.
Salam,
Solo, 5 November 2018
03:31 pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI