Setelah bergelut lama dengan perspektif psiko-teknologi berita bohong. Setidaknya saya bisa menarik kesimpulan tentatif. Bahwa hoaks adalah kreatifitas menyimpang atau subversif.
Setidaknya kreasi mural atau dulu disebut vandalisme dilabeli kreatifitas subversif. Karya mural/grafitti yang tidak pada tempatnya dianggap merusak pemandangan. Tiap coretan atau gambar akan selalu dihapus oleh otoritas kota.
Namun kini, mural dianggap sebagai sebuah avant garde art. Karya Banksy menjadi primadona penikmat seni. Kemisteriusan dan pesan dan karya muralnya bukan sekadar corat-coret belaka. Tak heran karyanya yang dicerabut paksa untuk dikomersialisasi bernilai tinggi.
Kembali membahas kreatifitas membuat karya hoaks. Dalam dunia digital dengan berlimpahnya sumber kreasi. Baik foto, video bahkan artikel bisa direkayasa dan dibengkokkan pesannya.
Mari kita telaah foto editan dengan pesan hoaks dibawah.
Foto sebelah kiri yang viral beredar saat momentum pembakaran bendera Tauhid. Di Facebook banyak dibubuhi sisi emosi tanpa mencari fakta asli. Sedang faktanya, foto yang asli ini sudah beredar sejak April lalu.
Mari bayangkan kita adalah pengedit foto Khabib-Mike Tyson diatas. Setidaknya ada beberapa aspek yang harus dipunyai orang/kelompok perekayasa foto ini.
Pertama, update informasi tokoh-tokoh terkenal. Khabib dan Tyson yang beragama Islam cocok sekali menjadi 'highlight' saat momentum pembakaran bendera tauhid. Jika tidak mengikuti sosmed kedua tokoh tadi. Nihil rasanya perekayasa tahu mereka (Khabib-Tyson) pernah berfoto bersama.
Beberapa berita hoaks pun sempat memunculkan hasil editan publik figur. Foto editan Dian Sastro dengan gambar kaos pilih Jokowi dan Sudirman Said sempat meramaikan linimasa.
Kedua, kemampuan editing fotografi atau video yang cukup mumpuni. Kembali kita lihat foto Khabib-Tyson diatas. Baju Tyson yang tadinya putih diedit menjadi warna hitam. Khabib dan Tyson yang tidak bertopi pun dibuat bertopi. Ini termasuk pekerjaan cukup rumit bagi orang awam.
Bagi para jago Photoshop, mungkin hal tersebut cukup mudah. Kita yang melihat sekilas bisa saja tertipu. Betapa 'natural' hitam baju Tyson plus bayangan topi Khabib. Istilah foto editing-nya, foto diatas diedit halus. Dan pasti tidak tergesa-gesa.
Ketiga, membangun caption dengan konteks kekinian. Selain foto yang diedit, caption/tulisan menjadi 'kompor' provokasi. Karena editan baju dan topi berkalimat Tauhid saja kadang tidak cukup 'greget'.
Caption dalam foto editan diatas secara tidak langsung 'menjaring' publik secara umum. Terutama umat Islam untuk bisa tersadar dan bergerak mendukung kubu yang pro umat mayoritas. Dan insinuasi pada satu kubu pun terbaca. Mungkin karena salah satu kubu begitu giat pada isu-isu agama seperti ini.
Guna menghindar jerat hukum pada oknum/kelompok pengunggah. Sistematisasi dan hirarki distribusi diperlukan. Jika foto editan bohong ini terbongkar. Posting pun akan di-delete post lalu akun pun ditutup. Pun dengan beberapa lapisan proxy, pengunggah akan cukup sulit untuk dilacak.Â
Sehingga, membuat berita bohong dengan editan foto tidak semudah yang dibayangkan. Pun mungkin bukan satu/dua orang yang memfabrikasi foto ini dengan isu aktual.
Belum lagi berita bohong dengan bentuk narasi/video. Jika perekayasa tidak luas dan beragam cakupan sumber ilmu dan informasi. Akan mustahil tercipta narasi yang begitu persuasif kebohongannya.
Karena narasi hoaks akan mencampur aduk fakta, data, dan argumentasi. Belum lagi menambahkan sisi sensasionalis dalam cerita yang diposting di sosmed.
Jika seni mural/grafitti masih banyak pro-kontranya. Akan tetap ada oknum yang mengkomersialisasi seni ini. Dan mungkin hal inilah yang nampak pada fabrikasi berita bohong.Â
Yang pro tentu mereka yang memiliki kepentingan politis/ekonomi. Sedang merek yang kontra adalah orang waras dan berpijak pada fakta.
Salam,
Solo, 26 Oktober 2018
11:06 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H