Kalimat sakti "Saya cuma share dari teman kok" menjadi alibi sempurna penyebar hoaks. Dalih yang bisa dikatakan pemuka agama, pemimpin publik, bahkan para akademisi. Pun kadang alasan pamungkas ini begitu sering kita dengar dan diulang, orang yang sama.
Kabar bohong yang begitu memikat dalam narasi. Ditambah foto dan video yang difabrikasi sesuai tujuan berbohong. Tak ayal mengusik sisi afektif atau perasaan. Bukan logika yang bermain saat memahami kabar bodong, terutama di dunia maya.
Konten hoaks pun tak jauh dari isu agama, politik, bahkan penipuan. Menurut data Mafindo 2018, konten misinformasi tentang politik masih tinggi di Indonesia. Mastel di tahun 2017 pun menempatkan berita hoaks berkonten politik terbanyak, yaitu >90%.
Karena dalih "cuma share" tidak sesederhana produksi hoaks itu sendiri. Saya coba berikan gambaran besar ruang gerak fabrikasi berita bohong.
Para buzzers dengan motif ekonomi bergerak di jejaring digital. Melalui ribuan akun palsu atau sering disebut bot. Buzzers bergerak serempak dan sporadis mengubah algoritma sosial media. Menjadikan trending, berita viral, sampai masuk liputan media arus utama adalah tujuan buzzers.
Digital Media meliputi blog, situs, bahkan portal berita pendukung berita hoaks yang dibuat. Karena secara logika sederhana, berita hoaks pun butuh referensi. Dan dibuatlah media digital yang abal-abal pula. Tujuannya tak lain agar target audience 'memvalidasi' berita hoaks yang disebar.
Sedang untuk target audience, memiliki detail sebagai berikut.Â
- Dimulai searah jarum jam. Tipe pertama adalah orang berpendidikan dan tidak peduli. Tipe seperti ini kadang bisa berbahaya sekaligus berbisa. Karena lingkup perspektif homogen kadang mengaburkan logika mereka. Dan dengan tingkat pendidikannya, mereka mempengaruhi tipe audience yang lain.
- Tipe kedua adalah orang tidak berpendidikan tapi peduli. Orang tipe ini tahu bahaya hoaks bagi keharmonisan sosial. Namun kadang 'dibungkam' oleh mereka yang berjabatan atau berpendidikan lebih tinggi. Diam kadang menjadi pilihan mereka.
- Tipe ketiga menjadi tipe yang riskan atas paparan hoaks. Mereka tidak berpendidikan dan tidak peduli. Berita bohong via sosmed dianggap angin lalu. Bisa jadi menyebarkan hoaks pun tiada menjadi beban buat mereka. Apalagi ditambah pengaruh orang di tipe pertama.
- Dan tipe terakhir, kadang sedikit dan jarang ditemui. Mereka orang berpendidikan dan peduli atas krisis hoaks di negri ini. Kadang tekanan dan pelabelan dari pihak tipe lainnya cukup signifikan.
Sehingga dari empat tipe dalam kuadran diatas, hanya satu tipe yang memberi solusi. Sedang masif dan berkelanjutannya informasi bohong saat ini begitu nyata via sosmed.
Jadi di balik dalih alibi "sekadar berbagi posting/chat teman" tidak bisa sekadar dianggap maklum. Ada sebuah hierarki sistematis "purveyor" berita bohong. Ada aktor dan medium yang terstruktur dari fabrikasi berita hoaks.
Salah satu solusi praktis terhindar dari "racun" share seperti ini adalah menginstal aplikasi TurnBackHoax Tool. Atau sering-seringlah bermain ke Fanspage sosial media yang men-debunk hoaks yang up to date.
Sedang solusi komprehensif tentu pemerintah menggerakkan kurikulum literasi digital. Karena generasi depan tentu harus lebih melek dunia digital. Toh, mereka akan hidup berdampingan dengan teknologi digital.
Salam,
Solo, 16 Oktober 2018
10:05 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H