Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gawai, Rumah dan Paradoks Eksistensi Manusia

13 Oktober 2018   22:55 Diperbarui: 14 Oktober 2018   06:21 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Day in a Digital World by Stephan Lorse - ilustrasi: stephanlorse.eu

Rumah menjadi sebuah cerminan eksistensi manusia. Di dalam rumahlah, kita lepaskan semua topeng yang kita gunakan. Seorang direktur yang galak ternyata lucu dan ramah saat bersama anaknya di rumah. Seorang sipir penjara yang tegas ternyata lemah lembut pada kucing peliharaannya. 

"Home is where our heart is."

Rumahku, surgaku

Dua kalimat kiasan di atas cukup menggambarkan eratnya korelasi manusia dengan rumah tinggalnya. Rumah disebut sebagai tempat hati kita bernaung. Rumah pun diandaikan sebagai surga. Dan di surga, seperti dalam kisah para mesiah, adalah tentang euforia sekaligus kedamaian.

Sehingga rumah bukan saja medium berdiamnya tubuh (wadag), namun juga hati (jiwa). Baik itu rumah masa kecil yang kita kunjungi saat mudik. Atau rumah dimana anak-anak kita tumbuh yang selalu dirindu usai bekerja. Rumah akan selalu menjadi tempat kembali, baik jiwa dan raga.

Baik rumah itu besar atau kecil. Mahal atau sederhana. Biarpun jauh kaki melangkah untuk bekerja, bersekolah, atau bepergian. Jika jiwa-jiwa orang didalamnya saling terpaut dan terbuka. Maka orang-orang tadi akan kembali ke rumah.

Segala aktifitas di dalam rumah menjadi substansi pembangun perasaan nyaman. Dan dasar perasaan nyaman ini menjadi diskursus solusi konflik antar anggota keluarga. Ataupun memahami kekurangan dan keteledoran setiap anggota keluarga.

Ada keterbukaan jati diri dan perilaku kita sebagai anggota kelurga dalam satu rumah. Dengan saling memahami kurang dan cela inilah bonding antar manusia di dalam sebuah rumah terjadi. Apalagi dengan durasi dan repetisi yang cukup lama.

Namun bagaimana jika eksistensi manusia dengan rumahnya terdisrupsi? Ada sebuah benda yang menjadikan jiwa-jiwa kita keluar dari rumah. Walau secara fisik kita berada di dalam rumah.

Sudah serupa mokswa atau out-of-body experience. Benda kecil ini menjadikan kita lupa akan merindunya jiwa untuk bernaung di dalam rumah. Walau hanya untuk sesaat.

Seorang ayah sibuk dengan laptopnya usai pulang dari bekerja. Masih ada laporan menumpuk ujarnya. Sedang anak-anaknya sudah terlanjur berharap sang ayah mau membantu mengerjakan PR mereka. Walau sejenak.

Seorang ibu masih terus menatap barang jualannya di toko online miliknya. Padahal sang putri yang baru dijemput dari sekolah ingin sekali dipeluk dan dikeloni untuk tidur siang.

Sang kakak baru selesai les bimbel UN SMA sore tadi. Menjelang makan malam bersama di ruang makan. Sang kakak masih sibuk dengan HP-nya. Bilangnya masih kerja kelompok via grup WA. Padahal sedang main gim online.

Sang adik baru saja selesai mandi dan sarapan pagi. Seperti biasanya, si ibu memberi tablet 'milik' si adik. Sedang sang ibu akan sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain. Yang penting anaknya diam, begitu fikirnya.

Kakek dan nenek sudah 2 hari menginap di rumah. Namun mereka sudah mulai bosan. Karena cucunya kini sudah besar. Besok mereka pilih pulang kembali ke kampung. Apalagi saat melihat anak, menantu, dan cucu-cucunya sibuk dengan gadgetnya.

Sang suami baru saja meletakkan HP-nya dan mencoba memenjamkan mata. Sedang istrinya masih senyum-senyum sendiri melihat smartphone-nya. Sang suami mengajak istrinya untuk segera tidur. Tapi malah tidak digubris.

Help on Social Media - ilustrasi: playbuzz.com
Help on Social Media - ilustrasi: playbuzz.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun