Justine Sacco, seorang senior director IAC sedang dalam penerbangan dari New York ke Afrika Selatan. Usai transit di Heathrow sambi bercanda, Sacco pun nge-tweet:
"Going to Africa. Hope I don't get AIDS. Just kidding. I'm white!"
Lalu Sacco melanjutkan 11 jam perjalan menuju bandara Cape Town International. Tak disangkanya, trending worldwide dengan tagar #HasJustineLandedYet riuh di linimasa. Tweet-nya tentang AIDS dan Afrika ternyata sudah di-RT lebih dari 2.000 kali.Â
Sebelum landing, Sacco sempat menghapus tweet tadi. Namun semuanya sudah terlambat, Sacco ditahan pihak aparat Cape Town. Karirnya pun kandas di waktu yang berdekatan. Keluarganya merasa malu atas tweet Sacco yang dianggap rasis.Â
Sacco sempat stress berat selama beberapa tahun. Sampai ia pulih dan kembali berkarir di tahun 2015. Tweet rasisnya dari tahun 2013 menjadi pengingatnya. Bukan berarti dengan 117 followers di Twitter dunia tak mendengar kita.
* * *
Nelty Khairiyah, guru agama di SMA 87 mendoktrin siswanya dengan kebencian kepada Presiden. Kabarnya ibu guru ini tidak sekali saja menceramahi siswa dengan rasa benci pada rezim. Sejak lama beliau mendoktrinasi kebencian kepada beberapa pihak.
Sang guru pun sempat memita maaf dengan menulis surat. Bahkan guru Nelty pun sempat membuat pembelaan kepada media. Ia mengatakan bahwa semua hanya miskomunikasi. Sebagai guru ASN, ia bersikap netral dan siswanya hanya salah memaknai saja.
Bawaslu DKI menganggap guru Nelty melanggar UU Pemilu Pasal 280 ayat 1. Pelanggarannya antara lain mendeskreditkan calon lain, menghasut orang lain, dan menggunakan sarana pendidikan.Â
Hukuman yang mungkin dijatuhkan pada guru Nelty adalah 2 tahun penjara dan denda 24 juta Rupiah.
Dari dua tragedi Sacco dan guru Nelty diatas bisa ditarik benang merah, yaitu:
Pertama, dunia digital tak pernah diam dan tidur. Sacco menganggap tweet-nya kepada 117 followers tidak berpengaruh apapun nantinya. Pun guru Nelty mungkin juga tidak mengira siswa yang merekamnya saat berorasi membenci Jokowi bisa direspon kemarahan orangtua dan netizen.Â
Sehingga, baik kejadian Sacco (2013) dan guru Nelty (2018) yang dipicu memantik kegaduhan via dunia maya. Mampu mendatangkan pulung personal di dunia nyata. Netizen memang selalu mencari sensasi agar linimasa tetap menarik.
Kedua, berfikirlah sebelum mem-posting sesuatu via sosmed. Karena terlalu terhanyut euforia dan guyon di dunia maya, kita kebablasan. Tweet rasis dari Sacco atau ceramah kebencian dari guru Nelty mungkin dianggap 'kenormalan' bagi mereka.
Sacco bisa jadi mengira travelling 11 jam penerbangan perlu canda dengan followers-nya. Namun tweet-nya malah menghancurkan hidup dan karirnya.
Guru Nelty pun mungkin mengira orasinya memuat nilai moral kepada siswanya. Tetapi ternyata tidak semua siswanya menggangap demikian.
Ujaran kebencian berkonten SARA dan preferensi politik sudah lama memenuhi linimasa. Tweet rasis dari Sacco atau ujaran bermuatan politis ala guru Nelty mungkin satu dari jutaan posting sosmed bernuansa hate speech. Namun bukan pula hal ini menjadi alibi kita untuk melakukan hal serupa.
Keempat, hujatan publik lebih menyakitkan dari pidana. Public shaming mungkin menjadi konsekuensi sosial dari dua kasus diatas. Sacco sempat diindikasi depresi dan tidak keluar rumah selama satu tahun. Dan tagar trending tentang tweet-nya pun bukan satu hal yang patut dibanggakan.
Walau guru Nelty sudah membuat surat pernyataan maaf. Mungkin saja fikiran dan perasaan beliau akan tertekan akibat sorotan netizen dan media massa.
Netizen akan kepo soal jejak digitalnya. Portal berita online mungkin akan mengorek apapun itu dari orang terdekat guru Nelty.
Kelima, netiquette menjadi skill penting untuk kita saat ini. Kecapakan inilah yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Netiquette atau internet etiquette adalah norma komunikasi sosial dalam dunia digital. Karena pada dasarnya, komunikasi via dunia maya pun memiliki tata cara dan tata krama.
Netiquette yang menjadi bagian literasi digital, mungkin tak pernah ditahui Sacco atau guru Nelty. Namun bukan berarti kita dan generasi masa depan tidak bisa mengambil pelajaran dari kasus yang terjadi. Dan baiknya, pemerintah kita sudah harus menggerakkan gerakan netiquette ini.
Dan muara dari kasus Sacco atau guru Nelty adalah tentang memaafkan dan mengambil pelajaran. Kebencian dalam medium apapun tidak layak dituntaskan dengan kebencian lain.Â
To err is human. Manusia adalah tempatnya salah. Namun bukan berarti kita tidak bisa belajar dari salah pribadi atau orang lain.
Sumber berita: detik.com | nytimes.com | the guardian.comÂ
Salam,
Solo, 11 Oktober 2018
10:27 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H