Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Karena Ratna, Kita Sadar Hoaks Itu Benar Adanya

8 Oktober 2018   17:50 Diperbarui: 9 Oktober 2018   08:49 5432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fake News via Toon - ilustrasi: toonsmag.com

Setelah hiruk pikuk kebohongan Ratna Sarumpaet (RS), publik terhenyak sesaat. Seolah baru terbangun, kita seolah baru sadar kalau hoaks itu nyata adanya. Jika selama ini hoaks cenderung berbentuk narasi deskripsi di linimasa semata. Pengungkapannya (debunk) pun cenderung rumit dan penuh link yang 'malas' diklik. 

Kebohongan ala RS ini berbeda. Kejadian ini ramai disorot media dan netizen Indonesia. Seolah hoaks RS menjadi the tip of iceberg dari banyaknya hoaks di dunia maya. Kebohongan RS, yang termasuk hoaks politik, merupakan satu diantara banyaknya jenis hoaks di Indonesia.

Persebaran hoaks RS seolah serempak dan dikomandoi tanpa perlu mencari kebenaran faktanya dahulu.

Menurut laporan pemetaan hoaks di bulan Juli-September 2018 oleh Mafindo. Disinformasi (misleading content) masih tinggi di tiga bulan yaitu 154 kali. Sedang hoaks (fake news) ada di urutan kedua dengan frekuensi 72 kali selama 3 bulan.

Dari total 230 hoaks dalam 3 bulan, hoaks berkonten politik cukup tinggi, yaitu 135 kali. Baik hoaks dan disinformasi, konten politik masih banyak memenuhi linimasa Facebook (110 buah). Dan umumnya, konten hoaks politik ini berupa narasi plus foto (116 buah). 

Dari kasus RS, setidaknya ada 7 indikator yang membuat kita tetiba tersadar hoaks dan bahayanya. 

Pertama, karena pelakunya yang mengakui ia berbohong. Apalagi pembuat kebohongan tadi figur yang begitu vokal di sosmed. Disini saya tidak menyoroti penyebar hoaks RS via sosmed. Tetapi lebih kepada manipulator hoaks, yaitu RS. 

Andai kata kebohohongan RS soal pengeroyokan tadi cukup di lingkup keluarga. Bisa jadi kebohongan ini tidak difabrikasi secara politis oleh koalisi kepartaian RS. Baca artikel saya: Kasus RS dan Analogi "The Onion Ring"

Kedua, hoaks politik masih menjadi primadona konsumsi media dan netizen. Dengan suasana Pemilu 2019 yang kental saat ini. Baik kubu opisisi dan petahana akan saling serang dan menjatuhkan citra. Semua isu bisa ditunggangi selama ada narasi yang dicocok-cocokkan.

Apalagi sebaran hoaks via sosmed yang langsung dan personal. Membuat propaganda echo chamber kian mumpuni di lingkaran simpatisan salah satu kubu politik saat Pemilu. Situasi ini dibentuk dan dipertahankan sejak 2014 lalu.

Ketiga, ternyata hoaks itu sistematis dan terstruktur. Kebohongan yang menjadi media propaganda ekonomis atau politis wajib terstruktur dan sistematis. Setiap personal dalam lingkar kuasa dan pengaruh memiliki peran yang tidak terlepas satu sama lain.

Seperti terlihat dalam kronologis RS mengungkap dirinya dikeroyok. Dari anggota DPR, dokter, publik figur, sampai netizen memainkan perannya dalam waktu singkat. Persebaran hoaks RS seolah serempak dan dikomandoi tanpa perlu mencari kebenaran faktanya dahulu.

Kasus RS ini sebaiknya menjadi pintu masuk kita lebih melek dunia digital.

Keempat, aparat kepolisian menunjukkan keseriusannya pada penindakan hoaks. Gerak cepat polisi kita akui sebagai counter dari sebaran hoaks dari RS yang cukup meresahkan. Fakta-fakta yang ditemukan pun tak berbeda dengan pengakuan RS sendiri.

Bukan saja menyoal kebohongan RS, pihak kepolisian menciduk pelaku penyebar hoaks. Hampir bersamaan dengan kasus RS. Polisi pun mengamankan seorang perempuan yang menyebar hoaks soal gempa di pulau Jawa. Dan kasus lain yang mungkin sorotannya tidak 'semegah' kasus RS.

Kelima, terlihat pihak oposisi yang seolah kebakaran jenggot. Disini, penyebar hoaks soal pengeroyokan RS sejatinya orang-orang di koalisi kepartaiannya. Tanpa lebih jauh bertanya pada RS, melapor polisi, atau membuat rekam visum. Kabar pengeroyokan RS  segera disebarkan via sosmed.

Figur-figur penting koalisi kepartaian mendompleng kebohongan RS dengan isu politis. Mereka berharap kubu petahana mendapat stigma jelek. Mereka berharap polisi lamban mencari pelaku. Pihak petahana pun akan deras dicerca kritik dan tudingan nantinya. Namun nyatanya malah tidak.

Liar Liar Pants on Fire - ilustrasi: atlasobscura.com
Liar Liar Pants on Fire - ilustrasi: atlasobscura.com
Keenam, akan banyak oknum yang cuci tangan dari masalah ini. Dan terbukti, paska pengakuan jujur RS banyak pihak yang hendak cuci tangan. Yang paling nyata terlihat adalah mereka memposisikan diri sebagai korban.

Jejak digital tidak pernah bisa berbohong soal siapa yang sebenarnya menjadi korban atau pelaku. Karena yang merekayasa, menyebar, dan meramikan kasus RS adalah oknum-oknum kepartaian RS sendiri. Pengakuan RS seolah menjadi senjata makan tuan buat propagandis kasus ini.

Ketujuh, mungkin kita akan lengah pada hoaks jenis lain. Seperti yang dijelaskan pada laporan Mafindo diatas. Hoaks berkonten politik merajai linimasa. Isu SARA, penipuan ekonomis, anti-vaksin, bencana, dll, masih ada walau tidak banyak. Namun bukan berarti tidak 'seberbahaya' kasus RS.

Contohnya menyoal disinformasi konten kesehatan berupa gerakan anti-vaksin. Vaksin Rubella yang mengandung kandungan tidak halal tetapi boleh diberikan (mubah) masih ditolak via sosmed atau WAG. Walau nyatanya banyak balita yang mengidap Rubella dan kini butuh penanganan.

Kasus RS ini sebaiknya menjadi pintu masuk kita lebih melek dunia digital. Tidak semua informasi dunia maya terlihat benar pada realitasnya. Banyak distorsi ekonomis dan politis memfabrikasi informasi di sosial media.

Konsep CCTV dan Saring Sebelum Sharing (3S) bisa menjadi pegangan kita memahami informasi di dunia maya. Intinya, kita tidak mau menjadi RS RS berikutnya bukan.

Salam,
Solo, 8 Oktober 2018
06:05 pm 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun