Seperti terlihat dalam kronologis RS mengungkap dirinya dikeroyok. Dari anggota DPR, dokter, publik figur, sampai netizen memainkan perannya dalam waktu singkat. Persebaran hoaks RS seolah serempak dan dikomandoi tanpa perlu mencari kebenaran faktanya dahulu.
Kasus RS ini sebaiknya menjadi pintu masuk kita lebih melek dunia digital.
Keempat, aparat kepolisian menunjukkan keseriusannya pada penindakan hoaks. Gerak cepat polisi kita akui sebagai counter dari sebaran hoaks dari RS yang cukup meresahkan. Fakta-fakta yang ditemukan pun tak berbeda dengan pengakuan RS sendiri.
Bukan saja menyoal kebohongan RS, pihak kepolisian menciduk pelaku penyebar hoaks. Hampir bersamaan dengan kasus RS. Polisi pun mengamankan seorang perempuan yang menyebar hoaks soal gempa di pulau Jawa. Dan kasus lain yang mungkin sorotannya tidak 'semegah' kasus RS.
Kelima, terlihat pihak oposisi yang seolah kebakaran jenggot. Disini, penyebar hoaks soal pengeroyokan RS sejatinya orang-orang di koalisi kepartaiannya. Tanpa lebih jauh bertanya pada RS, melapor polisi, atau membuat rekam visum. Kabar pengeroyokan RS Â segera disebarkan via sosmed.
Figur-figur penting koalisi kepartaian mendompleng kebohongan RS dengan isu politis. Mereka berharap kubu petahana mendapat stigma jelek. Mereka berharap polisi lamban mencari pelaku. Pihak petahana pun akan deras dicerca kritik dan tudingan nantinya. Namun nyatanya malah tidak.
Jejak digital tidak pernah bisa berbohong soal siapa yang sebenarnya menjadi korban atau pelaku. Karena yang merekayasa, menyebar, dan meramikan kasus RS adalah oknum-oknum kepartaian RS sendiri. Pengakuan RS seolah menjadi senjata makan tuan buat propagandis kasus ini.
Ketujuh, mungkin kita akan lengah pada hoaks jenis lain. Seperti yang dijelaskan pada laporan Mafindo diatas. Hoaks berkonten politik merajai linimasa. Isu SARA, penipuan ekonomis, anti-vaksin, bencana, dll, masih ada walau tidak banyak. Namun bukan berarti tidak 'seberbahaya' kasus RS.
Contohnya menyoal disinformasi konten kesehatan berupa gerakan anti-vaksin. Vaksin Rubella yang mengandung kandungan tidak halal tetapi boleh diberikan (mubah) masih ditolak via sosmed atau WAG. Walau nyatanya banyak balita yang mengidap Rubella dan kini butuh penanganan.
Kasus RS ini sebaiknya menjadi pintu masuk kita lebih melek dunia digital. Tidak semua informasi dunia maya terlihat benar pada realitasnya. Banyak distorsi ekonomis dan politis memfabrikasi informasi di sosial media.
Konsep CCTV dan Saring Sebelum Sharing (3S) bisa menjadi pegangan kita memahami informasi di dunia maya. Intinya, kita tidak mau menjadi RS RS berikutnya bukan.