Mengapa dan kenapa belum ada notifikasi adalah pertanyaan candu para Milenials. Response dan reply lama adalah tanda hancurnya dinamika percakapan. Bahkan kemarahan bisa hadir jika ternyata rekan yang lain tetap online walau disapa.
Ruang-ruang komunikasi hilang vibrasi suara, gerak raga, dan perimeter jarak. Dulu komunikasi verbal menjadi karateristik komunikasi sehat. Senyum dan sentuhan menjadi pelengkap konteks berbicara. Semakin dekat jarak berbicara. Semakin intim pula bahan yang dibicarakan.
Di dalam medium digital, suara, gerak dan jarak dilipat dan diremukkan. Suara orangtua, saudara, atau rekan adalah suara yang kita dengar dalam kepala kita sendiri. Dengan tipografi dan emoji, disederhanakan gerak dan mimik muka. Jarak antar rekan bicara hilang dengan layar HP di hadapan kita.
Notifikasi menjadi sebuah petanda festivalisasi fantasi komunikasi digital manusia. Melihat dan men-tap notifikasi bahagianya seperti membuka surat cinta dari sang kekasih dulu. Semu. Terus menerus dibuat. Candu.
Bahkan pembuat platform digital pun bermain kotor dengan penggunanya. Mereka buat notifikasi tanpa kita ketahui dan setujui. Dibuatlah posting memori 4 tahun lalu. Atau video iklan barang yang kita ingin beli.Â
Nampaknya algoritma media sosial tidak hanya membaca posting kita. Mereka pun mendengar isi hati dan kepala kita.
Notifikasi memfabrikasi ruang-ruang riuh rendah delusif. Notifikasi membuat komunikasi serasa candu fantasi suara, gerak dan ruang. Dan notifikasi pun yang menjadikan tangan, mata dan fikiran kita terpasung pada sebuah HP.
Mungkinkah kita sudah menjadi manusia-manusia notifikasi? Setidaknya saya merasakan hal demikian.
Salam,
Solo, 2 Oktober 2018
11:01 pm