Sebenarnya banyak yang sudah paham kalau dunia digital memupuk perspektif homogen. Yang belum banyak dipahami adalah mengapa seseorang begitu kuat keyakinannya pada satu perspektif. Dan dalam hal ini dunia politik baik menjelang atau seusai Pemilu.
Semakin giat kegiatan memberi perspektif yang berimbang. Kadang terjadi back-fire effect alias efek bumerang. Seseorang akan semakin teguh pendiriannya saat diusik keyakinannya.Â
Dan dalam echo chamber atau ruang gema seseorang mengeluarkan keluh kesahnya. Bukan solusi yang didapat atas pengusikan keyakinannya. Seseorang akan mendapati suara-suara yang serupa, yang mengeluh dan merasa tertindas.
Seseorang dengan sebuah pandangan politik akan mencari mereka yang "sependeritaan" di sosmed. Karena seseorang merasa diolok-olok dengan label tertentu. Atau pasangan Presiden atau Parpolnya direndahkan. Ia pun mencari dengan penuh kesadaran teman, rekan, atau saudara dengan keyakinan serupa.
Saat sudah menemukan ruang gema yang serupa atau seiya sekata. Akan terjadi euforia sampai pencerahan. Ia merasa menjadi bagian besar suatu kelompok dengan keyakinan dan tujuan yang sama. Kadang, aksi 'balas dendam' pada kelompok kontra pun terjadi.Â
Intrinsik karena seseorang sengaja mencari akun yang berperspektif serupa di sosial media. Hal ini membuatnya nyaman dan meminimalisasi konflik. Sehingga, gelembung bias intrinsik ini menciptakan safe haven atau rumah aman.
Gelembung bias intrinsik lebih organik dan natural. Ia didasari sifat defense mechanism atau bertahan manusia. Setiap orang akan mencari kesamaan guna membuat komunikasi, interaksi, dan ikatan. Maka bisa jadi, terciptalah visi, misi, dan modus yang serupa dalam gelembung bias tersebut.
Gelembung bias ekstrinsik juga sengaja dibentuk berkat algoritma sosmed. Atas nama interaksi dan durasi ber-sosmed, algoritma menampilkan homogenitas linimasa. Mulai dari posting yang disukai sampai rekomendasi teman dan iklan akan dimunculkan algoritma ini.
Gelembung ini bersifat otomatis dan rigid. Karena kalkulasi algoritma sosmed akan memukul rata semua akun. Baik itu akun palsu atau akun orang asli, semua akan ditampilkan. Baik itu posting faktual atau kebohongan, jika ramai interaksinya maka layak muncul di linimasa. Semua demi engagement dari users.
Sehingga akan terbentuk sebuah siklus seperti dibawah:
Dari kelompok-kelompok terpisah, akan disatukan dengan penelusuran pribadi dan algoritma sosmed. Terciptalah gelembung bias yang nantinya memupuk lebih lanjut keyakinan politik.
Dari ranah personal sampai komunal, keyakinan tunggal bergulir membesar bak bola salju. Walau perspektif ini secara nyata timpang. Ilusi demokrasi pun terbentuk. Demokrasi sosmed semacam ini bersifat ilusif. Karena penjara echo chamber dan filter bubble, membuat suara mayoritas sebatas like, komen dan share.
Dan kembali pada proposisi awal artikel ini. Semakin dinasehati agar berimbang perspektif seseorang akan semakin kuat penolakan pada disrupsi keyakinannya. Mindsetnya pun sudah terlanjur dikontaminasi opini, narasi, dan propaganda dalam lingkar dunia digitalnya.
Tidak ada yang salah dengan memilih preferensi politik. Namun yang patut diperhatikan adalah konflik yang rawan terjadi. Apalagi di dunia digital yang kecenderungan konfliknya cenderung sporadis dan viral.
Tak jarang, tweet war malah menjadi isu yang diseret sampai meja hijau. Dan sering juga kita temui isu-isu yang menimbulkan konflik horizontal. Isu-isu yang akan mengoyak kedamaian kita sebagai bangsa.
Salam
Solo, 29 September 2018
09:50 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H