Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membedah Anggapan "Di Medsos Galak, Aslinya Malah Pendiam"

13 September 2018   10:03 Diperbarui: 13 September 2018   20:38 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda bisa jadi siapapun di dunia maya. Tapi jika sudah kentara profile picture kita di media sosial, itulah diri kita. Sekilas memandang mungkin tak cukup memastikan. Tapi melihat rekam jejak digital via linimasa, kadang bisa validitas identitas baru bisa didapat.

Seperti dalam artikel saya dulu Memahami Identitas Diri di Media sosial. Jika ingin membranding diri, media sosial bisa menjadi media promosi dan network yang baik. Memunculkan front stage identity yang asli, dengan keahlian bakat dan keilmuan. Tentu berimbas baik pada diri pribadi ke depannya.

Namun kadang hal ini tidak disadari banyak orang. Banyak orang memakai identitas asli guna mencemooh dan memaki di dunia maya. Walau aslinya, atau di dunia nyata kebalikannya. Orang tadi cenderung pendiam atau malah pemalu.

Lalu kini, mengapa dengan profile asli di media sosial, orang tidak ragu berperangai galak atau sarkas? Hal ini tentu berbeda jika seseorang menggunakan akun anomin. Bahasan tentang ini, baca artikel saya Media Sosial dan Kesepian Kita.

Beberapa alasan mungkin bisa saya rangkum. Namun tentu alasan berikut bersifat tentatif dan pengamatan pribadi.

Pertama, karena galaknya dalam lingkarannya saja. 

Lingkaran yang saya maksud adalah filter bubble atau echo chamber. Di sinilah ruang bias perspektif serupa atau homogen tercipta dan difortifikasi. Pandangan yang cenderung homogen akan menciptakan pribadi yang memiliki satu visi, misi, dan mindset.

Misalnya teman di Facebook akan terlihat sangar saat mengomentari posting bertagar tertentu. Dan kebetulan yang memposting adalah temannya yang juga berperspektif tagar yang serupa. Hal ini karena memang algoritma FB cenderung memunculkan posting serupa demi interaksi linimasa.

Kedua, muncul kesan digital tribalism dalam pribadi dalam media sosial. 

Karena terjebak dan terperangkap dalam echo chamber. Terciptalah sedikit kesan digital tribalism atau menjadi 'gangster' ala media sosial. Dengan komen atau posting sarkasme bahkan sumpah serapah, muncul kesan seseorang lebih superior. 

Baik posting sendiri atau mengomentari posting teman lainnya. Akan muncul kata kasar. Dengan harapan teman-teman selingkarannya ikut like, komen atau share postingnya. Dengan begitu orang tersebut merasa menjadi bagian dari komunitas atau tribalisme. Sehingga serangan kepada pribadi tidak ada atau minimal.

Social Media Addict - ilustrasi: wsimag.com
Social Media Addict - ilustrasi: wsimag.com
Ketiga, menganggap medsos sebagai entitas percuma saja. 

Dengan kata lain medsos sebagai dunia senang-senang belaka. Semua posting/komen cuma gurauan belaka. Jangan dianggap serius. Jika pun posting dianggap menyebar hoaks, atau merendahkan orang lain bisa meminta maaf nanti.

Asumsi demikian saya kira salah untuk saat ini. Menjadikan masalah intimidasi, segregasi, bahkan kabar bohong via medsos sebagi suatu yang sepele adalah keliru. Karena sudah ada UU ITE yang mengatur hukuman atas tindak pidana dunia maya.  

Keempat, karena menjadikan medsos sebagai medium interaksi utama. 

Orang yang galak dan cenderung kasar di medsos mungkin sengaja memilih pribadi seperti ini. Karena mereka ketagihan dan tak pernah lepas dengan smartphone. Mereka anggap medsos dan internet adalah 'habitat' mereka.

Mungkin orang seperti ini tak butuh orang lain selain teman-teman di Facebook. Mereka memiliki dunia dengan less stress dan less threat. Tidak ada tekanan dan ancaman. Dan mungkin orang-orang individualistik macam ini semakin menjadi jika sudah bertemu dunia maya.

Menentukan branding pribadi di medsos memang pilihan tiap kita. Namun menjerumuskan pribadi asli kita dengan konten negatif di dunia maya dapat merugikan. Apalagi saat banyak yang tahu kalau pribadi medsos kita berbeda 180 derajat dengan aslinya.

Bersembunyi dibalik akun anonim hanya untuk menjadi preman medsos pun tak jauh berbeda. Anonimitas negatif akan malah memberi beban psikologi kita nantinya.

Salam,
Solo, 13 September 2018 - 10:16 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun