Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Dilema Memberi Kesadaran pada "Artificial Intelligence"

10 September 2018   22:07 Diperbarui: 11 September 2018   08:03 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence - foto: istock.com

Inilah yang ditakuti para pakar teknologi. Memberikan sebuah mesin, artificial intelligence (AI), kesadaran atau consciousness. AI dengan model humanoid misalnya, akan memiliki kesadaran layaknya manusia. Robot bukan lagi robot melainkan manusia dalam bentuk robot.

Walau mungkin disposisi ini masih fiksional. Tetapi langkah menuju ke arah AI yang berkesadaran tidak menutup kemungkinan. Begitupun AI yang belajar berkesadaran mandiri atas input big data manusia.

Model robot berbasis AI sekarang banyak berfokus pada Narrow AI. Model ini hanya menjalankan dan menyelesaikan satu tugas. Seperti robot vacuum cleaner yang membersihkan lantai. Dengan sensornya, robot vacuum cleaner ini bisa menghindari dan memetakan ruangan untuk dibersihkan.

Begitupun robot-robot yang bekerja di pabrik perakitan mobil/elektronik. Atas pemogramanan yang dibuat dan disematkan ke dalam sistemnya. Robot ini dengan kecepatan, presisi, dan ketahanan tenaga merakit semua komponen. 

Narrow AI memang mengerjakan pekerjaan yang monoton, masif, dan berdurasi lama. Sehingga narrow AI sebenarnya bisa menjadi digital workforce. Tenaga manusia bisa digantikan sepenuhnya untuk pekerjaan macam ini. Tak ayal ada potensi ancaman digital workforce nantinya.

Sedang pada General Artificial Intelligence, GAI adalah model AI dengan kemampuan independen, adaptif, dan mandiri. Dengan kata lain, AI model ini bisa mempelajari, berkomunikasi, dan berinteraksi sesuai bayangan manusia. 

Tindakan/tuturan/sensori ala manusia akan disematkan ke dalam sistem. AI pun akan, mempelajari, menggunakan, dan memanfaatkan. Model AI seperti ini ada pada sistem machine learning (ML). Walau model sederhana ML ini sudah ada disekitar kita.

Artificial Intelligence - foto: istock.com
Artificial Intelligence - foto: istock.com
Siri pada iOS adalah contoh sederhana AI model ML. Siri akan memproses suara kita untuk diubah menjadi percakapan. Walau kadang jawaban Siri masih aneh terdengar. Namun kini chatbots Flywheel dari Amazon bahkan sudah menyerupai obrolan operator manusia.

Dari implementasi otomatisasi kinestetik dan lingual AI mengalami perkembangan cukup pesat. Lalu bagaimana jika diberikan/mempelajari kesadaran emosional seperti halnya manusia? 

Para ahli teknologi dan vendor besar teknologi sebenarnya faham ancaman AI pada eksistensi manusia. Sehingga mereka sepakat membuat sebuah pakta perjanjian. Ai tidak akan dibuat untuk mengancam eksistensi manusia.

Pakta berjuluk An Open Letter on AI ini ditandatangani banyak pakar. Ada Stephen Hawking, Elon Musk, dan Eric Horowitz. Perusahaan tekno besar seperti Google, DeepMind, Vicarious, dll ikut mensirkulasi pakta ini. Para akademisi dari MIT, Oxford, Cambridge, dll pun turut andil.

Serupa sebuah pisau, AI bisa menjadi alat bantu atau senjata baru. Di tangan ilmuwan pintar dan jahat, AI bisa mungkin bisa disalahgunakan. Seperti kisah Ava dalam film Deus Ex Machina. Dimana kesadaran yang diberikan penciptanya, membuat Ava menjadi tuhan baru.

Namun dengan kesadaran serupa manusia, bisa jadi AI sendiri yang berbalik melawan manusia. Seperti kisah SkyNet dalam trilogi film fiksi Terminator. Model 'super AI' seperti SkyNet malah berbalik memusnahkan manusia.

Walau mungkin mungkin cerita diatas terdengar khayalan semata. Namun progress atau perkembangan AI yang sudah ada menuju model AI berkesadaran cukup pesat. Nyatanya, AI dalam bentuk robot adaptif dan mampu belajar sudah ada sejak 2010 lalu.

Sehingga manusia dihadapkan pada konflik dilematis. AI yang berada di tangan yang salah bisa berakibat buruk pada eksistensi manusia itu sendiri. Pun, AI yang sudah bisa beradaptasi dan belajar mandiri, bisa jadi berkesadaran suatu waktu.

Salam,

Solo, 10 September 2018

10:20 pm

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun