Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teknologi Digital sebagai Jagat Kebudayaan Milenial

4 September 2018   10:57 Diperbarui: 4 September 2018   15:20 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tecnophobe - ilustrasi: donnakeenan.wordpress.com

Mengapa teknologi digital menjadi jagat kebudayaan para Milenials? 

Sejak kelahiran internet di era 80-an, teknologi digital datang ke hadapan kita. Website menjadi produk global di awal 90-an. Lalu muncul pager sampai PGA di era yang serupa. 

Era smartphone dimulai saat Samsung dan iPhone banyak merilis gawai mereka. Dan sampai saat, dari 7 miliar populasi dunia 3,2 miliarnya sudah terkoneksi internet.

Kaum Milenials adalah generasi yang lahir dan berkembang seiring cepatnya inovasi teknologi digital. Sosmed menjadi media mereka berkomunikasi. Internet sebagai sumber informasi aktual dan faktual mereka. Dan gawai sebagai kebutuhan primer dan keberterimaan sosial mereka.

Indonesia kini memiliki 134 juta pengguna internet. Semua sisi kehidupan kita tak pernah terpisah dari dunia digital. Saat manusia dan dunia sekitarnya menjadi korelasi mutual, jagat kebudayaan pun terbentuk.

Dengan besarnya jumlah pengguna, teknologi menjadi arena ekonomi. Mulai dari informasi kebutuhan sandang hingga papan didapat via gawai. Mata uang virtual tanpa tatap muka penjual-pembeli pun menjadi pola transaksi.

Algoritma iklan via sosmed atau mesin peramban menjadi tokonya. Micro targeting berkat algoritma menjadi senjata pemasaran produk. Informasi pembeli dari mulai perilaku klik, sampai lokasi menjadi komoditas ekonomis.

Teknologi digital pun menjadi media pemudah pendidikan. Guru, dosen, bahkan siswa mungkin lebih membutuhkan Google daripada buku. Tak bisa dihindari juga artikel sampai skripsi mahasiswa adalah hasil penelusuran via Google.

Banyak sekali jurnal, buku digital, dan situs kini bisa diakses via gawai. Tak usah perlu lagi pergi ke perpustakaan. Atau bahkan membeli buku fisiknya di toko buku. Cukup beberapa klik, informasi edukatif bisa diakses dan diunduh.

Identity Fraud - ilustrasi: pinterest.com
Identity Fraud - ilustrasi: pinterest.com
Isu sosial pun tak pernah surut menjadi sorotan di dunia maya. Mulai dari isu perundungan di sekolah sampai isu sensitif dengan SARA bertumburan via sosmed. Semua orang ingin tahu dan melihat dan men-share konflik yang ada. Namun jarang yang mau meredakan dan meredam konflik serupa terjadi di lain waktu dan tempat.

Ujaran kebencian dan radikalisme menjadi latensi konflik bersembunyi di akun-akun palsu. Pemerintah dan aktivis internet 24/7 berpatroli di dunia maya. Tetapi dengan puluhan/ratusan juta interaksi yang ada. Memberangus aktor jahat dibalik semua ini seperti kenihilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun