Meraih suara pemilu dan opini publik pada isu politik terwadahi sempurna di dunia maya. Saat suara mayoritas menjadi patokan kebenaran politis. Membentuk populasi buatan pun mudah dilakukan via sosmed. Penggiringan opini sampai pembentukan mindset publik bukan lagi propaganda tersembunyi.
Ketika demokrasi terbuka menjadi arah penentu bangsa. Demokrasi kini redup terhalangi perspektif post-truth dunia maya. Semua opini politik menyangkut pembenahan sistem kenegaraan dan politik benar karena diyakini benar secara pribadi.
Pun dengan ranah hiburan, kesehatan, keamanan ketahanan bangsa, dan hubungan bilateral teknologi. Tanpa teknologi informasi menjadi infrastruktur ranah-ranah tadi. Tidak mungkin ranah-ranah tadi bertahan di era digital saat ini. Â Â
Para Milenials sudah menjadikan teknologi teman saat mata terbuka hingga mereka tertidur. Mereka memesan makan via online. Membeli baju di toko online. Mencari jawaban tugas PR via Google. Sampai mencari tontonan pun via dunia virtual.
Coba Anda sebutkan aktivitas apa yang kiranya tiada terwadahi aplikasi yang ditawarkan dunia digital?
Menjauh dari gawai akan mungkin akan menjadi stereotipe 'manusia purba'. Mereka yang tidak melek teknologi pun seolah tertinggal dalam semua hal.
Batasan identitas kenegaraan, etnisitas, bahkan agama tiada jelas di dunia maya. Semua orang bisa menjadi siapapun di dalam dunia daring. Anonimitas adalah keniscayaan pengguna internet. Representasi inferior diri tidak menjadi keunggulan di dunia maya.
Namun kembali disayangkan, teknologi di Indonesia masih menjadi instrumen. Sedang banyak negara lain menjadikan teknologi artefak dalam peguatan dan pembangunan generasinya. Teknologi digital di kita tidak menjadi kurikulum, mata pelajaran, bahkan modul di kelas.
Teknologi digital masih menjadi dunia euforis daripada literasi di negeri ini. Dan sampai kapan kita menjadi pengguna dan penghabis teknologi semata. Tanpa memahami sedikit saja dunia yang para Milenials Indonesia huni.
Salam,