Twitter sedang menghelat sebuah projek, dimana kita diminta untuk unfollow akun. Rekomendasi Twitter ini didasarkan pada kurangnya interaksi pada akun yang akan kita unfollow. Tujuannya tentu membuat timeline lebih interaktif. Selain itu, Twitter mungkin sedang menepis isu shadow banning yang terkesan dipolitisasi di AS.
Sebelumnya, langkah Twitter bersih-bersih timeline juga dilakukan. Twitter kabarnya akan melabeli akun dengan verified dan bot. Walau belum terlihat, CEO Twitter Jack Dorsey menganggap hal ini sebagai seismic change pada platformnya.
Merekomendasi untuk unfollow akun mungkin akan mengundang kontroversi. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi perdebatan netizen di Twitter.
Pertama, akan ketahuan follower bot sebuah akun. Karena bot akan dilabeli Twitter, nantinya. Maka bot yang cenderung sekadar RT/Like akan tentu lebih diprioritaskan untuk di-unfollow. Dan akun siapa yang rela followers-nya berkurang karena rekomendasi Twitter.Â
Tapi di satu sisi, rekomendasi unfollow akun bot menjadi tanggung jawab moral. Karena tentunya akun bot ini berbahaya jika 'dipelihara'. Bisa jadi salah komen/like pada akun penebar hoaks/pornografi mendatangkan bencana buat kita. Karena akun bot tentunya bukan saja mengiyakan tweet kita. Bisa jadi mereka mencari kelengahan kita di linimasa.
Kedua, unfollow akun adalah hak personal. Ya benar. Mem-follow akun yang tidak aktif sekalipun adalah hak netizen. Bisa jadi akun tidak aktif tadi adalah akun seorang rekan yang sudah berpulang ke pencipta. Chat dan foto ber-mention akun kita adalah memori kita 3 tahun lalu. Apa berdasar rekomendasi algoritma, perasaan manusia harus dibungkam?
Karena sadar atau tidak, sosmed sudah menjadi bagian primer manusia modern. Kita mungkin sudah cukup sulit mengingat piknik keluarga 2 tahun yang lalu. Tapi sosmed seperti Facebook bisa mengingatkan kita memori piknik tadi. Pun, kita sering meminta diantarkan makan via ojek online. Walau warung makan cuma 10 menit berjalan keluar rumah.
Ketiga, unfollow akun sebagai langkah menguatkan filter bubble. Jika rekomendasi didasarkan pada jarangnya interaksi. Bisa jadi akun yang memang bersebrangan mindset politik jarang berinteraksi. Akun kita mungkin pilih me-RT/like/quote akun yang serupa pandangan politiknya. Dan tentunya akun tadi tidak direkomendasi untuk di-unfollow.
Akun-akun beda pandangan politik tentu cenderung akan di-mute/block. Sehingga menguatlah perspektif yang homogen. Alih-alih mendorong bersih-bersih timeline dari hoaks/hate speech. Langkah Twitter untuk unfollow akun malah semakin memenjara users dengan perspektif bias.
Namun sebagai users platform gratis dan beramai-ramai, langkah apapun pembuatnya kita terima. Mungkin pun ada yang memprotes kebijakan platform, pastilah datang dari otoritas institusi/negara. Dan ini pun jika dirasa netizen sudah bulat suara pada kebijakan platform yang dianggap merugikan.
Dan semua kembali kepada bijaknya warga digital, kita semua. Dunia sosmed yang kita huni dan hidupi memang minim panduan. Tidak ada literasi yang kita pernah pelajari tentang dunia maya. Sedang dunia sosmed akan menjadi bagian hidup generasi Indonesia mendatang. Sudahkah mereka kita lengkapi dengan literasi digital memadai?