Tak ayal, selain medsos sebagai wahana sosialisasi publik. Sosmed pun menjadi katarsis konflik sosial yang terakumulasi lama atau yang terkait SARA dan partisan.
Akun-akun anonim bisa saja menyulut isu sensitif. Didukung buzzer bayaran yang bekerja karena nominal semata. Gesekan masyarakat di dunia nyata bisa terjadi.
Lihat saja isu-isu PKI yang tiada habis dan terus dimodifikasi. Atau isu-isu warga negara asing yang berkomplot menguasai negri ini.
Isu-isu lama yang kian kemari menjadi sebuah teori konspirasi tersendiri. Dan teori konspirasi akan selalu berisi dramatisasi dan kerahasiaan. Elemen yang menarik untuk dibaca, tapi tidak untuk dicerna.
Dan kini di dalam medsos, semua opini, teori konspirasi, kepentingan politik dan ekonomi berkelindan. Tiada yang benar benar-benar di medsos.
Yang ada hanya benar karena saya anggap benar. Dan kebenaran kolektif seperti ini jika ditangkup filter bubble sosmed bisa berbahaya.
Dari grup WhatsApp keluarga dibagi ke grup warga. Lalu chat di-capture dan di-share Facebook/Twitter. Posting menjadi viral. Walau posting bisa saja hoaks/rekayasa.
Solusi kuratif seperti penindakan dan perundangan siber memang sudah dijalankan pemerintah.
Tapi tindakan kuratif tanpa preventif akan menjadi hal percuma.
Pendidikan digital menjadi salah satu kunci solutif saat ini. Karena toh akan selalu ada man behind the gun dalam dinamika konflik
 Orang tersebut harus memahami seluk beluk dunia maya dan dampaknya. Dan orang tersebut adalah generasi kita.