Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ujaran Kebencian di Jagat Maya dan Potensi Konflik dalam Masyarakat

27 Agustus 2018   10:18 Diperbarui: 27 Agustus 2018   17:57 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca posting seorang rekan di Facebook membuat saya terenyuh. Betapa hate speech atau ujaran kebencian begitu klandestin, menyusup kehidupan dan pikiran kita. Kira-kira postingnya seperti berikut:

Dalam penerbangan dari kota A ke kota B, banyak sekali WNC (Warga Negara Cina?) dalam pesawat.

Postingannya adalah fakta empiris pengalamannya. Namun makna latensi yang dihadirkan berpotensi menyulut isu sensitif.

Dalam postingan itu memuat isu etnisitas yang ingin dimunculkan. Ada paham rasisme yang coba disisipkan. Terlepas dari orang lain yang tidak mengerti latar belakang atau ideologi politik rekan saya tersebut. Tapi insinuasi kesan yang menumbuhkan kesan ada yang fenomena 'berbahaya' di negara kita.

Contoh nyata di media sosial lain ujaran kebencian muncul lebih frontal.

Contoh kasus yang belum lama seperti perundungan siber di akun Instagram Antony Ginting, pebulutangkis Nasional.

Lainnya, Arseto Pariadji pun diciduk aparat akibat hate speech dan fitnah pada anak Presiden. Dan sudah sejak lama, akun haters nyinyir para artis menjadi fenomena tiada usai.

Di beberapa negara, hate speech sudah menjadi isu nasional. Penolakan Alternative fr Deutschland (AfD) pada para imigran menjadi kian pelik dan frontal di Jerman. Dengan lebih dari 93 ribu anggota, 500 ribu likes, dan 176 ribu posts di halaman FB AfD, muncul kewaspadaan pemerintah. Hal ini membuat banyak pihak melihat adanya latensi perpecahan dalam masyarakat Jerman.

Akibat sosmed, latensi bahaya xenofobia pun kini jadi isu yang kian sengkarut di Afrika Selatan.

Di tahun 2017, pemerintah Afsel mendeteksi 1,156 posting yang menginisiasi paham anti orang asing (xenophobia). Postingan yang menggambarkan anti orang kulit putih dan kolonialisme merajai linimasa sosmed.

Tidak hanya orang biasa, bahkan kaum terpelajar Afsel pun menyuarakan resistensi mereka pada orang kulit putih. 

Begitupun hate speech yang secara daring di India yang bertumburan pada isu pemerkosaan.

Di Myanmar, ujaran kebencian pun sudah menimbulkan konflik antar agama mayoritas dengan agama minoritas.

Begitupun gerak linimasa di Rusia yang dipenuhi ujaran kebencian pada Ukraina yang menguasai Crimea sejak 2014 sampai 2017.

Pada contoh di atas, ujaran kebencian umumnya didominasi isu SARA, nasionalisme dan paham partisan. Walau ada batas blur yang kadang dijadikan alibi para penutur online hate speech. 

Hate speech dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi/beropini. Ditambah anonimitas via sosmed yang menjadikan kebebasan opini disalahartikan dan disalahgunakan.

Walau ada perundangan UU ITE yang mewanti-wanti akibat ujaran kebencian, tapi masih ada tumpang tindih dengan pasal lain. Istilah dalam UU ITE pun sempat digugat ke MK oleh ACTA karena dianggap ambigu.

Kebebasan berekspresi ala medsos memang pada akhirnya kembali kepada isi dan makna yang disampaikan. Namun kadang, kepentingan ekonomi, SARA, dan partisan merancukan aturan yang ada.

Bersembunyi di balik (banyak) akun untuk menebar hate speech pun pelik dicari solusinya. Dengan bebas, cepat, dan tidak terbatasnya seseorang membuat akun, rantai bisnis hate speech terbentuk.

Bisnis yang melibatkan kerahasiaan konsumen dan produsen ini bak kartel narkoba. Di Indonesia sendiri, perang melawan produsen hate speech terus berlangsung.

Kembali pada ilustrasi contoh saya di atas, hate speech sudah ada di hadapan kita. Bukan hanya perkara posting/tweet yang berisi atau mengkiaskan kebencian atas nama suku, ras atau agama. Tapi perspektif atau mindset yang sudah kadung terbentuk.

Lalu, akibat konfirmasi bias ala sosmed yang begitu lama dan dipupuk setiap waktu, ancaman online hate speech sebagai pemecah bangsa sepertinya kian nyata.

Semoga menjadi periksa bagi kita dan pihak yang peduli.

Salam,
Solo, 27 Agustus 2018
10:18 am

***

Artikel lain: Perundung Siber, Isu yang Kian Redup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun