Baik pembuat informasi hoaks dan penyebarnya adalah jiwa-jiwa yang kalah. Setidaknya ada 6 faktor yang bisa menyimpulkan demikian.
Pertama, mereka kalah dalam berlogika. Saat logika adalah menyimpulkan dua oposisi biner. Maka berpihak pada kabar bohong serupa memakai kacamata kuda. Hanya memandang satu arah saja. Memfabrikasi berita bohong adalah membungkam jalannya logika. Menyintas kesimpulan tanpa memahami silogisme dan hirarki berfikir. Mempercayai informasi seperti inipun bak kerbau yang dicocok hidungnya.
Kedua, mereka kalah dalam merawat hati nurani. Berbohong merupakan tindakan menyudahi hati mendengarkan kebaikan. Memang tidak ada manusia yang tidak pernah berbohong. Tetapi tidak banyak orang mau membohongi banyak orang dengan kabar bualan belaka. Hanya mereka yang hatinya mungkin sudah membatu akibat kebutuhan perut dan kuasa semata yang mau percaya.
Ketiga, mereka sudah kalah dalam menjaga sisi emosional. Merangkai narasi kibal-kibul adalah kerja sisi kemarahan. Tanpa perasaan dan estetika info bohong dinarasikan sesuai keinginan oknum dan kelompok. Para pengikut setia berita hoaks pun melampiaskan gembira dengan narasi ini. Karena ada pihak yang peduli untuk membuat cerita dan fakta sesuai perspektif kacamata kuda mereka. Padahal para pengikut ini tertipu.
Keempat, mereka kalah dengan pragmatisme urusan perut dan kuasa. Para narator dan diseminator hoaks bukan orang biasa. Karena mereka sanggup merekayasa, menyajikan, dan meyakinkan orang lain pada kebohongannya. Walau sejatinya kemampuan mereka bisa saja digunakan untuk hal yang lebih baik. Tapi karena urusan perut yang harus segera diisi. Juga karena hajat berkuasa juga ingin segera diraih.Â
Kelima, mereka kalah dalam diskusi bahkan sebelum diskusi berlangsung. Karena isi kepala dan argumen perekayasa berita palsu adalah narasi fiktif. Pembelokan fakta dengan diksi dramatis cuma senjata mereka. Jika debat berlangsung, kadang amarah dan ad hominem menjadi senjata. Mereka pun merasa jumawa dalam kepalsuan melihat diam dan geleng-geleng kepala lawan bicara.
Keenam, mereka kalah dalam menjalin masyarakat yang harmonis. Para pembuat berita bohong adalah alien-alian asing. Mereka bukan dari bagian masyarakat harmonis. Karena yang mereka mau hanya kekacauan, kebingungan, dan kerancuan dalam masyarakat. Bagi mereka yang mempercayai hoaks seperti tersapu dari lingkaran rekat masyarakat. Lalu jatuh dalam lubang kebingungan faham kebohongan.Â
Memproduksi hoaks dan meregenerasinya dengan share/komen/like sudah menjadi penyakit medsos. Tindakan kuratif tuan rumah hanya sekadar pereda sementara penyakit seperti ini. Penindakan dari kepolisian dan pihak terkait sejatinya sudah menjadi rambu-rambu. Tetapi dunia maya yang penuh celah dan 'jalan tikus', berita bohong masih bersirkulasi 24/7. Karena perekayasa dan pengikut faham hoaks masih viral berkeliaran.
Penebar hoaks dan pengikutnya belum dan tidak akan kalah jika kita diam. Diam untuk tidak belajar dan memahami literasi dunia maya. Karena inilah yang memandu kita berlogika, mengatur emosi, dan mendistribusi informasi sosmed agar tetap sehat.Â
Disayangkan jika banyak dari kita yang tersesat dan kalah dengan berita bohong.
Salam,
Solo, 25 Agustus 2018
05:13 pm