Hasil survey riset Future of Humanity Institute di Oxford University memprediksi Artificial Intelligent (AI) dapat:
- menerjemahkan bahasa di tahun 2024
- membuat esai siswa sekolah menengah di tahun 2026
- mengemudi truk di tahun 2027
- mengatur penjualan retail di tahun 2031
- menulis buku best-selling di tahun 2049
- menggantikan dokter bedah di tahun 2053
Sebuah prediksi dari hasil survey beragam periset AI diatas mungkin 'guyon' buat kita orang Indonesia. Mana mungkin AI bisa mengemudi truk besar? Tidak masuk akal juga AI menggantikan dokter bedah di masa depan. Karena ini Indonesia bung!
Pekerjaan manusia tidak mungkin digantikan robot/komputer/mesin dengan AI. Penyangkalan seperti ini mungkin serupa pada era agraria dulu. Banyak yang tidak percaya kota industri dapat mengalahkan ekonomi agraris daerah. Faktanya, manufaktur mesin industrialis kini mengolah, merekayasa, dan mendistribusikan hasil pertanian dan peternakan. Genetically modified food (GMF) guna meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan pun ditanam di lahan para agrarian.
Dari tahun 1990-2016, jumlah petani turun signifikan menurut Bank Indonesia. Dari 55,1% di 1990, menjadi 31,9% di 2016. Dengan UMR kurang dari 1,5 juta, profesi petani kian tidak digandrungi. Usia produktif petani pun kian mengkhawatirkan dengan kebanyakan berusia 55 tahun ke atas. Sehingga sampai dengan tahun 2035, diprediksi penduduk desa turun 0,35% per tahun.
Di US sendiri ada 12 pekerjaan manusia yang semakin cepat digantikan AI dengan model automatisasi:
Fenomena 'eliminasi' pekerja manusia di era digital tidak sepenuhnya terjadi. Menurut riset Gartner, manusia dan AI dengan robotnya akan menjadi co-bot. Seperti dalam industri retail, dimana customer experience dalam membeli tidak sepenuhnya bisa digantikan robot. Pembeli tentu ingin berbicara langsung dengan pendamping retail dari manusia. Â
Pekerja dengan skill digital dan kompetensi teknologi mumpuni menjadi kebutuhan industri masa depan. Dari laporan survey Deloitte oleh para eksekutif indutri, optimisme cognitive technology dan AI semakin tinggi. Para eksekutif pun optimis AI dapat menggeser pekerjaan manusia sampai 40% dalam 2-3 tahun ke depan. Walau sepenuh tidak tergantikan AI, manusia akan mendapatkan peran baru dalam pergeseran ini.
Kembali ke konteks Indonesia, pergeseran ini dimulai dari kebutuhan akan profesi yang melek teknologi. Menurut Monroe Consulting, Indonesia memiliki sedikit skilled professional dan over supply non-skilled workers. Banyak pekerja profesional memilih bekerja di luar negri karena alasan gaji dan kesejahteraan. Ditambah minimnya universitas kredibel di Indonesia yang masuk dalam 500 World Top University. Dalam hal ini tidak sinkronnya teknologi yang dibutuhkan industri dengan pendidikan tinggi.Â
Kini di era disrupsi industri 4.0, digital workforce menjadi kekhawatiran kita. Saat stagnansi pendidikan kita masih berkutat pada kognisi manusia. Dunia sedang menciptakan kecerdasan artifisial (AI). Tak heran jika pesatnya AI mungkin dapat menggantikan peran manusia dalam rutinitas pekerjaan. Walau analoginya sarkas, robot tidak 'rewel', bertahan lama, dan dapat segera dibetulkan/diganti jika aus. Sehingga, kenyataan pahit ini patut kita terima dan dicarikan solusi win-win.
Peran serta ranah pendidikan, industri, dan teknologi di Indonesia wajib segera dikoordinasikan. Pendidikan literasi digital patut menjadi perhatian semua. Dari mulai soft-skill sampai etika berteknologi harus sanggup segera membentuk individu yang melek teknologi. Memprediksi manusia yang digantikan robot bukan lagi fiksi, tapi realitas. Dan, sudah siapkah Indonesia?
Salam,
Solo, 26 Juli 2018
09:33 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H