Masih dalam gema Hari Anak Nasional, muncul isu keprihatinan anak ditawan gawai mereka. Dari mulai melek mata sampai hendak terpejam, anak menggenggam gadget atau gawainya. Bahkan jika diminta atau disembunyikan, tak sungkan si anak tantrum.
Nangis meraung sampai marah ke siapapun menjadi fenomena yang bisa terjadi. Dan mungkin ada banyak lagi dampak yang tiada terduga akibat gawai pada anak.
Gawai kini seolah menjadi kebutuhan primer keluarga modern. Anggaran bulanan untuk kuota internet gawai ayah, ibu, kakak, adik dan si upik harus dibuat. Gawai sudah jadul, rusak, atau ingin update gawai terbaru tak urung menguras isi dompet. Baik untuk sekadar main gim atau bermedsos ria, gawai tidak pernah lepas dari dinamika keluarga.
Bisa kita katakan, gawai sudah menjadi anggota keluarga.
Jumlah pengguna gawai di Indonesia berada di urutan ke 4 di dunia setelah China, India dan Amerika. Jumlah smartphone sendiri 1,4 kali lebih banyak dari total populasi penduduk Indonesia. Menurut katadata.co.id, di 2017 sekitar 371 juta ponsel terdaftar dimiliki orang Indonesia. Kemenperin mencatat ada 30 produsen gawai yang sudah memenuhi syarat TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negri).
Dari gambaran data di atas, tak bisa diingkari pengguna gawai adalah anggota keluarga. Bisa saja si ayah mendaftarkan tablet/smartphone anaknya atas nama dirinya. Atau si ibu yang memang punya 2-3 smartphone untuk toko onlinenya. Si kakak yang sudah SMA juga bisa punya tablet dan smartphone biar tidak kalah gengsi di sekolahnya.
Dengan minimnya edukasi formal menyoal dunia digital, tanggung jawab penggunaan gawai ada di orang tua. Tentunya orang tua ingin ada kemanfaatan optimal dari gawai untuk anaknya. Ekses negatif gawai tentunya ada. Namun jika bisa diminimalisir tentu lebih baik. Namun sayang, banyak orangtua pun kadang tidak tanpa tahu efek buruk gawai.
Jalan pintas melarang anak memakai gawai pun bukan solusi. Pembelotan dan "main belakang" si anak menggunakan gawai bisa terjadi. Pinjam gawai teman/saudara yang memanjakan mereka jadi pilihan. Tidak terawasi dan terkontrolnya anak menggunakan gawai orang lain efeknya malah bisa lebih berbahaya. Pun kadang, orang tua lalai pada bentuk tindakan ini karena kesibukan mereka mencari uang.
Sebagai anggota keluarga, kita biasanya mampu menerima baik buruk seseorang. Menjadikan orang lain anggota keluarga pun saling mendekatkan. Kadang jarak pun rela dan mampu ditempuh demi untuk bersama, contohnya mudik. Saat saling dekat, entah itu kabar baik dan buruk sebagai anggota keluarga pun mau mengucap bahagia atau mencari solusi.
Begitupun bagi sebuah gawai jika menjadi anggota keluarga. Akankah lebih bijak bagi orangtua mau belajar dan faham efek buruk yang dibawa. Sehingga efek lebih buruk bisa dihindari. Tak lupa juga mencari sisi kemanfaatan si gawai. Faktanya, gawai menjadi perekat anggota keluarga saat jauh. Dan saat dekat pun, dengan gawai kita simpan kenangan bersama.