Di zaman smartphone, jodoh dan rezeki ada di tangan algoritma. Mungkin istilah ini agak mengusik mindset kita selama ini. Karena mau tidak mau, terima tidak terima, algoritma adalah deus ex machina era saat ini.
Algoritma digital menjadi potensi kawan sekaligus latensi ancaman. Fungsinya kini menentukan hajat hidup banyak orang. Algoritma search engine dan sosmed dikomersalisasi para pengiklan. Siapa yang mau menjadi first page atau micro-targeting harus bayar lebih banyak. Banyak orang yang meminta Google don't be evil. Pun, beragam kasus dari platform sosmed mecederai banyak pihak.
Distopia algoritma pun banyak ditampilkan beragam film/novel fiksi ilmiah. Lihat saja bagaimana film Deus ex Machina (2015) menampilkan sebuah  conscious machine sebagai 'new god'. Novel Homo Deus (2015) karya Yufal Noah Harari, mengejutkan kita dengan algoritma yang berbalik mencelakai 'tuannya'. Mungkin hal-hal ini fiksi semata. Bukankah di abad pertengahan dulu orang juga bermimpi pergi ke bulan?
Dan percayalah, banyak orang mencari jodoh dan mengadu nasib di dunia digital. Dan algoritma menjadi 'tuhannya'.
Bagaimana 'jomblo' yang mencari jodoh di Tinder dikelabui rating Elo. Mulai dari gambar profile, setting, durasi log in, lokasi, sampai kriteria pujaan hati memengaruhi rating Elo. Sampai-sampai protes secara 'digital forensic' dalam artikel ini ditujukan kepada Tinder. Artikel tidak segan menyebut algoritma Tinder sebagai omong kosong.
Setali tiga uang dengan Tinder, banyak situs pencari jodoh pun tak  jauh berbeda. Layanan dengan pasangan yang cocok dan lebih banyak, dan dekat tentu bisa dilihat dengan mode premium. Belum lagi saat membuka satu situs jodoh, iklan situs jodoh lain menawarkan layanan lebih baik. Di artikel The Guardian, pasangan prospektif pun kadang sekadar produk, bukan interaksi ketertarikan alami.
Para jomblo sebagai konsumen 'dipaksa' berinteraksi lebih lama dengan platform online dating. Lagi-lagi demi klik, subscription, dan extra fitur demi kompromi finansial platform. Konsumen hanya diputar-putar dengan persuasive design ala gim. Dan ini terjadi juga pada paltform jual-beli.
Pola platform jual-beli pun berisi kompleksnya algoritma agar dagangan laku. Items dari konsumen atau aplikasi sendiri ditawarkan dengan beragam syarat dan ketentuan. Syarat dan ketentuan ini pun masih diikuti dengan algoritma ala-ala search engine optimization. Ada rekayasa limpahan data dan informasi pelapak yang diutak-atik demi klik.
Bagi pelapak yang tidak mau membeli fitur tertentu, usah berharap dagangannya laku. Pembuat aplikasi/situs serupa pengelola pasar. Bedanya di dunia digital, mereka mengatur keluar masuk barang. Bukan pembeli yang berhak memilih/melihat barang. Tapi algoritma (jahat) pembuat aplikasi/situs yang mengaturnya sedemikian rupa.
Pelapak seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Ingin sekali dagangannya laku. Tapi nyatanya di dunia digital 'premannya' (baca: algoritma) lebih pandai memalak. Nampaknya collaborative filtering ala aplikasi jual beli sudah dirumitkan sedemikian rupa beberapa pihak. Semua demi menyuburkan income yang masuk kepada platform. Karena toh, tidak ada yang gratis di dunia (digital) ini.
Kini algoritma menjadi penguasa dunia digital. Facebook pun dengan mudahnya mengatur apa yang ingin userslihat. Dari 1,3 miliar penggunanya, algoritma bergerak cepat dan tepat memberi apa yang kita (juga algoritma) inginkan. Eksploitasi algoritma dari pihak-pihak pengeruk keuntungan kinipun menjadi 'tuhan' atas pasangan dan mata pencaharian banyak orang.