Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengkritisi Polemik PPDB Sang Menteri

8 Juli 2018   11:07 Diperbarui: 8 Juli 2018   19:57 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sistem Zonasi - ilustrasi: mojok.co

Mencari kesempurnaan pendidikan adalah kenisbian. Karena hakikat pendidikan adalah hikayat manusia dan peradabannya. Pendidikan menjadi evolusi paralel manusia menuju peradaban tingginya. Sudah sepatutnya, perbaikan dan peningkatan semua aspek dan lini pendidikan menjadi program para amtenar suatu negara. 

Begitupun dengan program yang dicanangkan pejabat tinggi pendidikan kita. Setelah sang menteri mewacanakan Full Day School di medio 2016 yang menjadi polemik dan akhirnya dibatalkan. Kini, aktualisasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sejak 2017 menuai kritik dan keprihatinan.

Permendikbud No. 17 Tahun 2017 tentang PPDB menuai banyak kritik. Sistem zonasi yang dianggap membingungkan. Lalu kuota 20% siswa miskin yang dimaknai beragam. Dan pendasaran prestasi akademik/non-akademik yang malah mudah dimanipulasi. Dampaknya, keprihatinan orangtua siswa pun bergejolak. Sistem yang diwacanakan ternyata menuai kekecewaan.

Jika ditelaah, berikut faktor-faktor mengapa PPDB dianggap 'gagal'. Sudah 2 tahun implementasi kebijakan ini dianggap membuat banyak pihak risau.

Pertama, kebijakan pemerataan pendidikan yang belum optimal. Lagi-lagi, sistem zonasi ini mungkin memihak siswa di kota besar. Kota besar/wilayah yang sudah merata pendidikannya bisa jadi mengalami ketimpangan. Ada sekolah favorit dengan berlimpahnya siswa unggulan. Walau ada sekolah yang minim siswa. Dan kadang menjadi sekolah 'buangan' siswa-siswa yang tidak diterima sekolah favorit. Sistem zonasi ini kiranya tepat diaplikasikan.

Bagaimana dengan siswa berada dalam batas suatu wilayah, baik kabupaten/kotamadya? Bahkan ada orangtua siswa yang membawa peta Google Map untuk meyakinkan dirinya tinggal di wilayah cakupan zonasi sekolah. Karena banyaknya orangtua yang bingung zonasi, akhirnya kementrian bekerjasama dengan Pemda di tahun 2017. Namun sepertinya belum banyak orangtua yang juga faham aturann zonasi. Pun, karena Pemda yang mungkin kurang peduli.  

Kedua, desentralisasi pendidikan yang gagal difahami daerah. Menyangkut poin pertama, desentralisasi malah menjadi kuasa daerah. Pemerataan yang dimaksud sang menteri kadang dipahami sepihak. Seperti ambigunya kuota sedikitnya 20% siswa miskin yang diterima. Beberapa sekolah di daerah hampir menerima semua siswanya dengan syarat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan sertifikat prestasi akademik/non-akademik.

SKTM dan sertifikat prestasi yang diacu pun kadang tidak seragam dan serampangan. Orangtua siswa yang mampu dan kaya dan berpengaruh kadang bisa mendapatkannya. Serfifikat akademik/non-akademik abal-abal pun kadang menjadi jalan masuk sekolah favorit. Walau ada sanksi pidana untuk pelaku pemalsu dokumen tersebut. Bisa jadi karena 'dekat' dengan pejabat/otoritas pemerintah lain, sanksi ini pun cuma wacana.  

Ketiga, format kebijakan ini belum matang atau prematur. Desentralisasi pendidikan seperti saat ini seharusnya melibatkan daerah untuk sistem PPDB baru. Sistem zonasi, sertifikat prestasi, dan kuota siswa miskin kiranya dibuahkan pejabat pusat semata. Dampaknya, baik siswa, orangtua, guru, sekolah, dan Diknas Pemda kebingungan. Akhirnya banyak kompromi dilakukan agar implementasi sistem berjalan.  

Tidak adanya koordinasi dengan pihak terkait, seperti BPS, Dukcapil daerah, atau Diknas daerah terlihat. PPDB baru ini seolah hanya menjadi program 'kejar tayang' menteri baru. Tak lain mungkin alasannya demi menyerap anggaran pendidikan yang melimpah. Pun, demi terlihat sang menteri kerja, kerja, kerja untuk pada pemerintahan Jokowi. Tak salah pada hakikatnya. Namun gagal faham pada implementasi dan dampaknya. 

Istilah sekolah favorit akan melekat bagaimanapun. Rekam jejak sekolah favorit dengan beragam prestasinya menarik banyak kekaguman. Dan, orangtua mana yang tidak ingin anaknya menjadi bagian dari sebuah sekolah favorit. Siswa mana yang tidak ingin CV/resume-nya nanti berisi deretan sekolah favorit dari SD-SMA. Kadang agar masuk ke sekolah ini, dilakukan apapun caranya.

Kembali, menyempurnakan pendidikan adalah kemustahilan. Karena toh pendidikan adalah evolusi longitudinal manusia dan peradabannya. Namun, mencari cara dan upaya menuju kebaikan dalam pendidikan wajib diperbuat. 

Dan patut ditekankan, program baru pun bukan sekadar trial-and-error. Apalagi alasannya untuk menyerap anggaran dan terlihat punya kerja belaka. Kebijakan baru baiknya sudah dikaji, diteliti, dan dievaluasi kemanfaatannya sebelum implementasi holistiknya. Mungkin, seorang Mendikbud butuh dua periode agar terlihat perbaikannya untuk pendidikan Indonesia.

Salam,

Solo, 8 Juli 2018

11:10 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun