Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengambil Pelajaran dari Kebangkrutan Toys R Us

2 Juli 2018   11:48 Diperbarui: 3 Juli 2018   22:19 2895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya, pola ambruknya produsen gitar Gibson kini berimbas pada vendor mainan besar dunia Toys"R"Us (TRU). Mindset dunia bermain analog anak kini digantikan dunia algoritma dan interaksi digital. Secara spesifik, faktor ekonomi pun mendorong pergesaran dunia analog anak ke dunia digital. Baik gitar dan mainan anak kini bukan menjadi pilihan anak, atau bahkan orangtua.

Di US sendiri, sekitar 800 lebih toko TRU ditutup pada akhir Juni kemarin. Sedang sampai April lalu, sekitar 100 toko TUR di UK pun mengalami krisis manajemen. Dengan 25 toko diantaranya sudah tutup secara permanen. Sejak September tahun lalu, TRU sudah mengajukan file kebangkrutan. Hutang yang ditanggung TUR saat ini mencapai 5 miliar USD. Di US kini ada sekitar 3,000 pekerja TRU yang akan dirumahkan.

Pailitnya TRU setelah 30 tahun lebih menguasai industri mainan anak, terjadi di masa para milenials. Merekalah pemuda dan anak yang lahir dan terpapar teknologi digital. Dunia anak yang dulu begitu bahagia bermain boneka, yoyo, puzzle, dan bersepeda digantikan gadget. Layar HP milik ayah atau yang sengaja dibelikan orangtua menggeser pola dan mindset bermain anak. Dari dunia penuh hands-on menjadi dunia 'mesin' digital.

Bermain menjadi parameter Zone Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky  pada seorang anak. Saat anak bermain, ia memaknai tindakan dengan aktifitas menyenangkan. Disini anak sedang mencari makna atas fenomena di sekitar mereka. Contohnya, bermain masak-masakan menjadikan anak memahami makna peran, bukan sekadar berimajinasi. Anak tidak terbatas dengan imajinasi mereka. Namun sebaliknya, mereka melampaui apa yang difahami oleh orang dewasa yang deterministik.

Namun kini seolah mindset diatas bergeser. Bermain menjadi pola statis anak yang deterministik dan independen. Gim di gadget sudah mereplikasi imajinasi anak. Seorang anak bisa dengan senang menjadi seorang chef di gim aplikasi ala chef di Android. Anak tidak perlu berimajinasi tentang seorang chef karena gambaran dan perannya disediakan di gadget mereka. Pun, aktifitas fisik akibat bermain gim di gadget pun semakin berkurang.

Screenshot situs TUR - sumber: businessinsider.com
Screenshot situs TUR - sumber: businessinsider.com
Kini seorang anak sebelum dan setelah lahir sudah menjadi penghuni sosmed. Walau anak tidak boleh mendaftar akun sosmed. Secara tidak sadar orangtua mereka mendaftarkan anak mereka. Bagi 'anak jaman now', like/heart/komentar foto diri mereka sendiri sudah menjadi adiksi. Sosmed menjadi dunia baru dan mengasyikkan bagi seorang anak. Dan anak terperangkap (baca: diperangkap) sosmed baik ulah orangtua mereka atau algoritma bubble seperti yang Eli Pariser ungkap.

Gim di gadget pun dianggap lebih murah, up to date, dan tahan lama daya gunanya daripada mainan. Mainan berupa boneka setelah dibeli, beresiko rusak setelah dimainkan beberapa lama. Maka nilai gunanya pun hilang seiring keausannya, kebosanan, atau digantikan mainan lain. Mainan bentuk fisik pun cenderung berubah sesuai tren dan cenderung mahal. Mainan KW pun menjadi idola walau cepat rusak dan tidak sebagus mainan asli.

Berbeda dengan gim di gadget. Saat bosan, seorang anak bisa bebas mengunduh gim lain. Biasanya gim freemium mudah didapat, viral, dan trending pada satu waktu seperti Flappy Bird. Jikapun membeli, maka pola subscription pun sudah didiskon, paket murah, dan bisa diputus kontrak sewaktu-waktu. Orangtua pun kadang menggelontorkan banyak uang untuk anaknya membeli gim/upgrade sebuah karakter.

Kegandrungan anak pada gadget tidak bisa dipungkiri. Tak heran Bill Gates, sang CEO Microsoft, membatasi dengan sangat gadget untuk anaknya. Namun tidak dengan orangtua yang sibuk siang-malam mencari uang. Sampai bermain dengan anaknya menjadi sangat jarang. Belikan saja anaknya gadget dan biar bermain sendiri menjadi pilihan. Walau sebenarnya bermain dengan anak bermanfaat. Dan barang tentu screen time anak pun perlu pengaturan.

Bangkrutnya TRU menjadi indikasi awal anak yang semakin jauh dari dunia bermain analog. Akibat paparan tak teratur dunia digital dan nilai ekonomis gim, menggeser mindset bermain anak. Para milenials nantinya akan menjadi warga dunia maya dan nyata. Walau kini terlihat, ke dua dunia tersebut tidak menunjukkan kerukunan. Tinggal bagaimana kita membekali mereka dengan literasi digital yang mumpuni.

Salam,

Solo, 2 Juli 2018

11: 56 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun