Serentak di banyak daerah di Indonesia, hari ini Pilkada dihelat. Para pemilih sesegera menunaikan hak politik mereka di TPS. Lalu, tak lupa memposting foto jari yang sudah dicelupkan tinta di sosmed. Agar ada legitimasi digital sudah melaksanakan tugas sebagai warga negara. Tak lupa, me-like, share atau komen meme koplak celupan tinta TPS di grup WAG atau linimasa FB.
Pra-Pilkada pun, dunia digital sudah dihiasi nuansa Pilkada. Dari mulai posting survei elektabilitas. Sampai quote inspiratif calon pemimpin disertai nomor urut, berseliweran di sosmed. Belum lagi dinamika dibalik posting tersebut. Dari peran buzzer sampai intrik kolom komentar makin menggelorakan nuansa Pilkada.
Posting bernuansa SARA masih mendominasi kampanye digital. Karena kesukuan, agama, dan ras begitu personal bago para pemilih. Unsur SARA dapat menggugah emosi, psikis bahkan aktifitas fisik. Bahkan jika sudah begitu masif dan terstruktur, kampanye digital SARA mengakibatkan sanksi pidana bagi seorang calon pemimpin.Â
Kadang, sampai usai Pilkada dan salah satu paslon korban kampanye SARA berkuasa. Barisan sakit hati masih bersliweran di linimasa sosmed dengan olok-olok dan nyinyirannya.
Banyak paslon menggunakan kampanye digital. Selain sebagai sarana menggapai pemilih secara lebih personal dan targeted. Kampanye via dunia digital menjadikan masa kampanye lebih holistik kejamanan. Dengan kata lain, kampanye konvensional tidak efektif di era dimana informasi dunia berada dalam genggaman. Pun, secara biaya bisa jadi kampanye digital lebih efisien.
Bagi para pemilih melek digital, kampanye digital menjadi ajang 'menguliti' calon pemimpin mereka. Jejak digital dulu yang merekam kinerja mereka bisa menjadi acuan dalam memilih. Baiknya, linimasa sisi kontra dan ditelaah dengan baik. Walau memakan waktu dan tenaga. Mencari pemimpin baik adalah tanggungjawab 5 tahun ke depan.
Bagi pemilih yang tak begitu peduli kampanye digital. Mencari pemilih tetap dilakukan informasi sana-sini. Pun kadang konsultasi melalui grup chat/sosmed lain bisa dilakukan. Walau kadang banyak yang terjebak dalam filter bubble sosmed. Kadang fanatisme kepartaian dalam keluarga atau kedaerahan masih kuat.
Sebentar lagi, linimasa sosmed dan media mainstream akan sesak dengan hasil quick count. Netizen pun akan meramaikan dengan hashtag mendukung salah satu paslon.Â
Berdasar lembaga survei andalannya, mereka beradu hasil hitung cepat di linimasa. Tidak lupa hasil foto hasil penghitung surat suara dari banyak TPS sebagai bukti dari relawan paslon.Â
Hasil quick count kadang menjadi parameter kemenangan. Hal yang kian menjadi lumrah karena hasil hitung KPU/KPUD yang lama dan kumulatif. Nantinya ada beberapa paslon yang langsung merayakan kemenangan dengan dasar quick count.Â
Jika kalah, akan diadukan menjadi kasus perdata sengketa Pilkada seperti yang sudah-sudah. Pun kadang sampai menimbulkan bentrok publik, yang juga nantinya jadi konsumsi berita netizen.
Karena begitu bias sosmed, kemenangan quick membuat halusinasi kemenangan Pilkada. Era post-truth ala lingkar sosmed, menyebabkan Pilkada adalah kemenangan menurut persepsi masing-masing.Â
Kemengan valid hasil KPU di dunia nyata adalah maya. Sedang hasil quick count lembaga jagoannya di sosmed adalah kemenangan nyata. Kenyataan dibalik sesuai halusinasi bias digital kemenangan Pilkada.
Pemimpin pun bisa jadi ada dua pihak. Yang pertama adalah pemimpin di dunia nyata. Yang secara de facto dan de jure menang di KPU dan memimpin kita secara kelembagaan pemerintah. Dan pemimpin satu lagi pemimpin sosmed. Yang secara quasi facto dan jure masih memimpin trending dan linimasa sosmed. Kadang bukan sebagai oposisi yang konstrutif, tetapi destruktif.
Dunia digital sudah saling sengkarut dengan dunia nyata kita. Sehingga urusan Pilkada berpengaruh bukan saja pra-pencoblosan, bahkan paska-pencoblosan.Â
Dalam gelembung-gelembung bias via sosmed, prinsip kemenangan paslon menjadi halusinasi masif. Kampanye primodial berbasis isu SARA masih merajai linimasa. Sedang para calon pemilih masih banyak yang gagap literasi digital.
Salam,
Solo, 27 Juni 2018
11:30 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H