Gaming addiction is to be listed as a mental health condition for the first time by the World Health Organization.
Menurut WHO, kecanduan gim kini dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental. (berita: bbc.com)
Saat kebanyakan netizen hanya membaca judul, tagline diatas mengundang kehebohan bathin. Ternyata kini kecanduan gim menjadi gangguan mental. Ditegaskan pula dengan akronim WHO atau World Health Organization. Sebuah badan internasional yang mengurusi kesehatan orang di dunia. Tentunya tidak salah mengumumkan hal seperti ini.Â
Isinya berita secara detail sebenarnya menguraikan lebih lanjut gangguan mental pada gim. Bermain gim yang disebut sebagai gangguan klinis jika gejala adiksi gim berikut berlangsung lebih dari 1 tahun. Gejalanya seperti:
- Lepasnya kontrol diri terhadap durasi, intensitas, dan frekuensi bermain gim
- Prioritas berlebihan terhadap bermain gim daripada bersosialisasi, bersekolah, dan bekerja
- Keberlanjutan bahkan peningkatan bermain gim walau dampak buruk terus terjadi
Namun, mungkin kebanyakan saduran berita di bahasa Indonesia pun mungkin tidak dibaca lebih lanjut. Secara sosial pun, dampak berita ini menstigma beberapa pihak.Â
Pertama, para game enthusiast kini menjadi was-was. Game enthusiast bisa jadi hanya fans atau penggemar gim sejati. Mungkin mereka tidak bisa disebut teradiksi pada gim. Mereka berkumpul pada satu forum/komunitas. Dengan media ini mereka berbagi trik/tips gaming, bertukar gim lawas, atau sampai mengadakan bakti sosial misalnya. Namun, bisa jadi banyak orang mencap mereka sebagai orang dengan gangguan kecanduan gim.
Kedua, para gamer professional pun menjadi ragu atas prestasi mereka. Ega Rahmaditya yang sukses menjuarai kompetisi FIFA 2018 Asia, adalah gamer pro yang mengharumkan nama bangsa. Namun, bagaimana dengan gamers pro yang lain? Saat mereka meniti karir pada e-sport, banyak yang akan melabeli mereka kecanduan gim. Bisa jadi banyak terjadi konflik bathin saat mereka mulai menekuni profesi gamer.
Ketiga, keraguan guru yang menerapkan metode gamifikasi. Seperti artikel saya soal gamifikasi, guru menjadi berfikir kembali. Jika ada unsur gim dalam kelas, bagaimana tanggapan para siswa. Mungkin siswa akan merasa enggan, karena nasihat orangtua mereka soal gim menyebabkan gangguan klinis. Atau saat siswa bilang ke orangtua soal belajar dengan bermain gim, orangtua bisa akan protes ke pihak sekolah.Â
Kelima, stigma bagi anak yang belajar tentang dunia digitalnya. Gim adalah bagian dari dunia anak kita saat ini. Pasti ada cara dan kesempatan mereka bermain gim. Pelarangan hanya akan menimbulkan pemberontakan. Sedang gim juga memiliki efek positif untuk anak. Menurut laman psychologytoday.com, beberapa manfaat gim untuk anak seperti: bentuk sosialisasi anak, pembentuk mindset problem solving, dan wadah refleksi literasi sosmed anak.
Keenam, kebimbangan startup dan vendor gim lokal. Mungkin sebagian kecil dari startup mulai pupus harapan dengan berita ini. Publik akan mengaggap gim baru tidak ubahnya gim lain yang menimbulkan kecanduan. Stigma yang ada pun pun membuat vendor gim menggencarkan promosi gim mereka. Di televisi kita saja sudah banyak iklan tentang gim. Bisa jadi gim lokal tidak berkembang atau runtuhnya developer gim yang sudah ada
Kecanduan gim bukan seperti kecanduan obat terlarang. Bagi game enthusiast, kecanduan gim adalah saat bermain gim menjadi sarana mereka bersosialisasi. Bagi gamer pro, kecanduan gim adalah saat mempersiapkan untuk berkompetisi baik regional, nasional, atau internasional. Bagi guru kecanduan gim adalah saat siswa bisa belajar via gim edukasional. Bagi orangtua, kecanduan gim bagi anak atau diri sendiri adalah soal pengaturan watu dan prioritas.
Semua hal saat sudah berlebihan dan merugikan diri dan orang sekitar, baru bisa distigma gangguan mental. Perlunya membaca informasi utuh dan komprehensif menjadi bagin penting generasi digital dan kita. Derasnya informasi jangan sekadar dibaca sekilas atau belaka. Fahami dan sampaikan dengan baik. Begitupun tentang stigma buruk kecanduan gim bagi beberapa pihak tentu merugikan.
Salam,
Solo, 23 Juni 2018
10:28 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H