Internet Neutrality (NetN) sudah lama menjadi perdebatan sengit. Baik di kalangan teknologis (termasuk kita), Internet Service Providers (ISP), dan pemerintah, NetN menjadi perdebatan menyoal freedom of speech. Internet sebagai medium komunikasi tidak seharusnya dimonopoli beberapa pihak. Jika terjadi monopoli broadband, kita sebagai konsumen akan terkena imbas baik dari sisi koneksi dan konten internet.
Para teknologis, seperti Tim Berners-Lee menginginkan internet layaknya jalur telekomunikasi serupa jaringan telepon. Semua orang dapat menggunakan layanannya tanpa pandang bulu. Sedang sisi lain, ISP ingin internet serupa jalur tol tetapi dengan layanan dan fitur yang berbeda. Semakin mahal seseorang/badan membayar, semakin cepat jalur yang ia pakai.Â
Sedang pemerintah ingin menjadi penengah antara teknologis, konsumen dengan pihak ISP. Bentuk nyatanya adalah badan/departemen pemerintah yang mengawasi ISP agar tidak memonopoli broadband.Â
Di US sendiri, kini isu NetN ini menjadi pelik. Saat dibawahi FCC (Federal Commission of Communication), ISP diawasi fungsi broadbandnya. FCC dibawah pemerintahan Obama tahun 2015, bertindak sebagai wasit antara ISP dan users atau konsumen. Namun kini, FCC tidak lagi berwenang atas pengawasan broadband ISP. Yang bertugas kini adalah FTC (Federal Trade Commission).Â
Contoh sederhananya, saat seorang melakukan streaming musik/film akan ada beragam opsi dari penyedia jasa. Mulai dari jalur lambat dengan kecepatan 2 digit Mbps. Sampai jalur cepat dengan kecepatan 3 digit Mbps. Bisa jadi, semakin cepat koneksi streaming semakin seorang users harus membayar layanannya.
Namun secara detail saat NetN menjadi 'kuasa' pihak ISP dengan dalih sisi ekonomis, akan muncul beberapa isu krusial.
Pertama, tentu saja koneksi internet menyesuaikan isi kantong. Bukan saja pada sisi users seperti contoh diatas dirugikan. Tetapi web/blog/startup dengan dana minim akan sulit berkompetisi di internet. Dengan opsi freemium, misalnya, tentu koneksi tidak secepat bagi yang membayar premium.Â
Walau isu koneksi tidak secara langsung mempengaruhi click/visit karena model SEO yang sudah diterapkan. Namun ada sisi konten yang kemungkinan akan diatur oleh ISP karena fitur tidak premium. Target users internet pun terbatas pada satu segmentasi juga.
Kedua, konten internet pun akan diatur oleh ISP sendiri. Kombinasi dari isu pertama dan kedua ini memunculkan bias serupa filter bubble. Saat ISP bisa mengatur konten apa saja yang disajikan kepada users. Baik pembuat web/startup akan berkutat dengan homogenitas pengguna yang tersegmentasi. Mereka yang freemium akan terus disajikan konten yang freemium. Sedang tidak bagi user dengan opsi premium.
Dikhawatirkan, hal ini akan menghambat inovasi dari vendor teknologi kecil. Mereka akan kalah bersaing dengan vendor besar. Contohnya, beruntung saja Zuckerberg dengan Facebook masih bisa merasakan NetN dulu. Sehingga saat ini sudah berhasil menenggelamkan MySpace.
Dengan ISP mengeksploitasi sisi ekonomis broadband, tentu mendatangkan revenue tersendiri untuk pemerintah. Saat beragam opsi koneksi dan konten dilakukan ISP, bisa jadi ada margin lebih banyak dari sisi keuntungan finansial. Berbeda jika ISP diawasi satu badan yang tidak menitikberatkan atau memperbolehkan ekploitasi sisi finansial broadband.Â