Memberi salam tempel atau angpao menjadi tradisi yang sulit lepas. Keponakan dan anak-anak dari saudara jauh niscaya berkunjung saat Lebaran. Tiada pas rasanya sebagai orang dewasa yang sudah berpenghasilan tidak memberi 'penggembira' berupa salam tempel. Ada juga keacuhan orang dewasa dengan melabeli salam tempel sebagai tradisi mengemis.
Dan kawan, setidaknya ada empat faktor kenapa tradisi salam tempel Lebaran tetap ada:
- Menjadi balas budi
- Menjaga silaturahim
- Menginvestasi untuk generasi kita nanti
- Mendelegasi perayaan dalam bentuk salam tempel
Pada poin 1 dan 2, kita masukkan ke dalam kategori politisasi salam tempel. Usah berfikir politisasi sebagai entitas negatif kawan. Salam tempel adalah entitas mempreservasi keutuhan sebuah keluarga besar. Resiprokalitas dalam membalas budi menjadi norma tidak tertulis sebuah keluarga. Jika entitas ini hilang, bisa disebabkan 2 perkara. Pertama, keluarga tertentu dikucilkan dari keluarga besar. Kedua, keluarga tertentu meninggal dunia.
Begini contoh sederhananya kawan. Saya waktu kecil juga diberikan salam tempel oleh paman saya saat Lebaran. Ketika paman saya memiliki cucu. Maka saya yang sudah dewasa dan berpenghasilan, layak memberi salam tempel saat Lebaran bersama keluarga besar.Â
Tidak ada perintah atau aturan tertulis tentang ini. Konyol jika salam tempel menjadi permintaan paman saya. Atau malah saat Lebaran menjadi aturan yang dibacakan layaknya Preambule UUD 1945 saat upacara bendera.Â
Sehingga masuk poin ke 2, salam tempel menjaga silaturahim. Tradisi salam tempel yang tidak menjadi kewajiban malah menjaga nilai silaturahim. Salam tempel menjadi bahasa kebaikan dalam sebuah keluarga besar. Bahasa yang tidak terucap, namun menjadi aktifitas konkrit. Bahasa yang tiada berbasa-basi, tapi langsung mengurai maksudnya.
Pada poin 3 dan 4, salam tempel menjadi entitas festivalisasi Lebaran. Dari sudut pandang seorang anak, salam tempel adalah kegembiraan. Sedang dalam perspektif tidak langsung, orang dewasa menginvetasi untuk anak/cucunya nanti. Ada hubungan timbal balik dalam bentuk berbeda guna merayakan hari istimewa, yaitu Lebaran.
Pada contoh saya diatas, saat diberikan salam tempel oleh paman, saya cukup gembira. Saya mungkin tidak ingat betapa gembiranya mengumpulkan puluhan ribu uang baru. Tetapi cerita orangtua dan keluarga besar saya akan terus ada. Dan, melanjutkan cerita kegembiraan ini pun ingin saya lakukan saat saya dewasa dan berpenghasilan seperti sekarang.
Jika seorang dewasa melihat salam tempel sebagai tradisi mengemis. Ada yang salah caranya memandang. Bisa jadi karena orangtua tadi terlalu pelit medit kejepit. Atau bisa jadi ia adalah korba pengucilan keluarga karena tidak mau memberi salam tempel saat Lebaran bersama. Yang saya maksud dengan pengucilan bukan menjauhi. Tetapi dalam komunitas sosial, tidak diacuhkan saat mengobrol atau sekadar meminta bantuan adalah bentuk pengucilan.
Jangan labeli pemberian salam tempel sebagai tradisi mengemis. Karena mengemis adalah rutinitas bahkan mata pencaharian bagi beberapa orang. Tetapi salam tempel dengan waktu dan konteks merayakan hari Raya, bukan mengemis. Bisa jadi seorang anak paman yang kaya raya cukup senang diberi angpao beirsi 5,000 dua lembar. Karena anak paman saya diakui dan menjadi bagian dari keluarga besar.
Dan kawan, anggaplah salam tempel sebagai sedekah juga. Sesederhana itu.
Salam,
Solo, 11 Juni 2018
11:50 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H