Kembali, mari kita lihat sisi lain sebuah fenomena. Mencerabut makna umum menjadi serpih tulang belulang. Untuk kemudian kita rangkai kembali ke makna yang sejati. Kini tentang tradisi mudik.
Mudik adalah fenomena meta-eksodus yang dianalogikan kisah para mesiah dulu. Perkabaran para nabi yang hijrah bersama kaumnya menjadi pelajaran tersendiri. Karena tak mudah melawan kedzaliman jahiliyah para penghamba animisme dulu. Kini, mudik pun sama dalam bentuk mobilitasnya. Namun, tujuannya jauh berbeda.
Banyak yang sudah mengintisarikan hikmah tradisi mudik. Tapi tak ada salahnya kini melihat sisi lain mudik. Maukah kau kawan?
Mudik pun menimbulkan rasa cemburu, bahkan iri kawan.
Saat seorang perantau mudik ke tanah kelahirannya, yang harus ia bawa adalah kesuksesan. Bagaimanapun caranya. Ada rasa sungkan jika kembali ke desa kembali berjalan kaki. Belilah atau kredit motor biar tidak percuma orang memandang. Maka pakailah buat mudik nanti. Agar orang melihat kisanak perantau ini sukses.
Bagai aksi-reaksi, si kisanak perantau tidak sesumbar dengan motor barunya saat mudik. Tapi si Ngatman merasa termotivasi. Karena iri si kisanak perantau bisa membeli motor. Lalu Ngatman membuat rencana menjadi kaum urban sesuai Lebaran nanti. Meramaikan kota yang sudah penuh sesak. Pokoknya mencari serakan uang-uang pada kesempatan kerja.
Kecemburuan lain bentuk pun bisa timbul. Karena orang kota tidak sah disebut mudik. Orang yang besar, lahir dan keturunan asli kota yang dahulu desa mau mudik ke mana. Bisa jadi bahan tertawa orang lain jika bilang "Mau mudik ke Jakarta". Karena dalam kepala orang sudah berdendang lirik lagu "Buat apa datang Jakarta.." Sebuah oksimoron yang tidak tampak tapi difahami.
Kecemburuan lain juga ada kawan. Seorang istri yang melulu mudik ke kampung halaman suami pun berhak iri. Dengan dalih sudah tidak ada orangtua, sanak famili, dll. Suami menetapkan pulang ke kampungnya. Bukankah kampung halaman bukan sekadar fisik dan orang-orang di dalamnya.Â
Bagaimana soal kerinduan akan sejuknya udara di desa seperti kecil dulu. Atau kangen bertegur sapa teman SD, guru SMP di kampung dulu. Atau sekadar ingin merebahkan badan lelah di tempat tidur almarhum orangtua dulu, sembari menangis. Mungkin seorang istri sungkan berucap demikian karena taatnya pada suami.
Terakhir, adalah kecemburuan dari para pekerja di kala mudik. Pak polisi, para polwan, petugas tiket tol, masinis, supir dan kondektur bus, dan sederet profesi lain. Mereka bekerja dengan mengurungkan kerinduan pulang mudik. Bisa berkumpul ramai bersama keluarga besar, terjadi setahun sekali. Bisa jadi, di Lebaran kali ini menjadi kali terakhir bertemu simbah, paman, atau sanak saudara lain. Karena jarak memisah dan takdir kadang tiada pernah bisa menunda.
Karena kita kadang begitu acuh pada pekerja di kala mudik ini. Bisa jadi wajah mereka tersenyum mengatur kemacetan berjam-jam. Tapi dalam hati ingin sekali menyudahi tugas segera. Mereka ikhlas bekerja mengatur semua agar tertib dan selamat sampai kampungnya. Sedang cemburu dan iri mereka lesapkan dalam-dalam.
Salam,
Solo, 7 Juni 2018
11:42 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H