Mulianya jasa buah kelapa tidak bisa kita rasakan tanpa intervensi komersil. Tangan-tangan penghubung, dari kebun pinggir pantai. Sampai ke gelas di rumah kaum urban. Terdapat jarak, waktu, tenaga yang tidak sedikit. Ada keringat dan peluh dari pemetik kelapa berupah 50 rupiah per kelapa. Atau upah lelah supir truk pengangkut kelapa, yang cukup untuk makan 1 minggu keluarganya. Dan resiko jari terpotong si penjual kelapa dengan goloknya, agar buah dan daging kelapa bisa didapat.Â
Semua adalah koordinasi mutual dengan motif kontradiktif. Motif ekonomis dan konsumtif menjadi converter belt pengusung kelapa ke perut kita.
Salam,
Solo, 1 Juni 2018
01:13 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H