Kasur pak Di terletak tepat di belakang lemari kayu ini. Tanpa dipan, tanpa sprei.Â
"Waalaikumsalam mbah..." jawab Tinah cucu pak Di. Sutinah masih remaja. Kedua orangtuanya menjadi TKI di Arab. Tinah sebenarnya punya rumah sendiri tidak jauh dari rumah pak Di. Seringkali Tinah meminta kakeknya pindah dan tinggal bersamanya. Tapi pak Di keras kepala. Orantuanya pun sering memaksa pak Di untuk pindah. Tapi percuma. Bahkan perabot baru yang dibeli pun dikembalikan ke rumah Tinah dulu.
Pak Di berkeras, ia harus tinggal di rumah itu sampai ajal menjelang. Karena itulah pesan almarhumah istrinya. Sudah 10 tahun pak Di tinggal di rumah seorang diri. Di rumah sederhana tempat pak Di membesarkan anak. Tempat pak Di berkasih bersama istri. Untuk selamanya.
"Dapat takjil nggih mbah?" tanya Tinah.
"Iya nduk. Ini buat kamu satu." sambil duduk sejenak dan memberi sekotak takjil pada Tinah.
"Matur suwun mba. Saking sinten niki mbah?"
"Saking gusti Alloh nduk."
"Ah njenengan niki guyon mbah..."
"Lho tenan kok nduk. Lha rezeki yang kita dapat sampun diatur Gusti Alloh tho? Jodoh, mati yo uwes diatur. Tangan manusia hanya perantara nduk. Semua sudah ada yang ngatur. Kita hanya diminta ngucap syukur nduk.."Â
Tinah terdiam dan kagum filosofi simbahnya. Walau bukan seorang alim. Ia tahu simbahnya sudah cukup tahu asam garam kehidupan.
"Mungkin simbahmu juga sudah nda ada dari dulu nduk. Kalau bukan karena Gusti Alloh. Mbah selamat saat berjuang lawan Belanda dulu. Lha poro Londo kui nggo bedil. Lha simbah gur keris nduk. Tapi alkhamdullilah bisa hidup sampai sekarang."
Tinah masih terdiam sekaligus takjub. Ternyata benar kata orangtua Tinah. Kalau simbah adalah pejuang.Â
"Sudah. Sebentar lagi mau buka. Gek ndang balik dan buka di rumah nduk. Simbah ta mandi dulu. Lalu ke mesjid."
"Nggih mbah."Â
Tinah pergi membawa kotak takjil. Sembari dalam hatinya terus mengucap doa. Semoga simbah selalu sehat dan selamat. Karena di Ramadhan ini, Tinah tahu doa akan di-ijabah.
Salam,
Solo, 31 Mei 2018