Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Dosen Rentan Sebar Berita Hoaks?

23 Mei 2018   12:01 Diperbarui: 24 Mei 2018   13:19 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fake News - ilustrasi: science.sciencemag.org

Kasus dosen penyebar berita bohong di Universitas Sumatra Utara (USU) kembali menarik perhatian kita. Kasus ini menjadi indikasi dari banyak kasus lain yang disorot media menyoal dosen dan berita bohong. Pun, kasus pribadi dan yang tidak disorot media banyak, namun tidak menjadi konsumsi netizen. 

Bahasan sentral artikel ini bertolok dari beberapa pertanyaan berikut. Dengan status dosen, mengapa seseorang bisa menyebarkan berita bohong? Bukankah pendidikan seorang dosen cukup mumpuni? Setidaknya sekarang umumnya dosen bergelar S2, ada yang sudah Doktor bahkan Profesor. Kira-kira, faktor apa saja mendorong seorang dosen mendeseminasi berita bohong?

Jika orang biasa, non-dosen, menyebarkan hoaks mungkin tidak menjadi highlight media. Karena tentu banyak orang dari kalangan non-akademisi menjadi target berita bohong. Terutama di sosmed. Baik itu akun terverifikasi ataupun tidak.

Hoaks sejatinya mengincar viralitas, trending, dan click-view. Dengan jumlahnya banyak, baik dengan bot atau real users, tiga tujuan tadi bisa tercapai.

Dosen dengan pendidikan mumpuni tidak luput dari viralitas berita bohong. Disini saya coba uraikan beberapa faktor mengapa ada dorongan menyebarkan hoaks. Dalam hal ini, pada seorang dosen. Dan hal ini belum menjadi tumpuan akademis penyebab isu ini. Masih diperlukan riset yang komprehensif tentang isu ini.

Faktor pertama, adalah digital divide. Digital divide adalah ketimpangan jumlah, literasi dan paparan teknologi antar generasi. Para dosen bisa jadi menjadi generasi atau Gen W, X dan/atau Y. Gen W adalah yang lahir antara 1946-1964. Gen X lahir antara 1965-1976. Dan Gen Y lahir dalam rentang 1977-1994. Sedang generasi up-to-date saat ini disebut Gen Z atau digital natives. Baca lebih lengkap artikel saya tentang digital divide dan digital natives.

Kenapa rentang usia ini penting? Karena semakin terpapar suatu generasi pada dunia digital dengan teknologinya, maka mereka akan menjadikannya bagian dari hidupnya.

Istilahnya, teknologi dan dunia digital menjadi artefak kebudayaan. Dulu, saat informasi bersifat sentralistik dan lambat, seperti koran. Kini informasi bersifat lebih personal, cepat dan real-time. Semua orang punya informasi untuk dibagi. Dan semua bisa mengakses dan menyebarkan informasi. Via media sosial, sudah terjadi tsunami informasi.

Baca artikel saya, fenomena ALS.

Faktor kedua, literasi digital yang minim. Dari faktor pertama, literasi digital menjadi variabel lain penyebaran berita hoaks pada dosen. Literasi digital digital adalah kecakapan post-kritikal pada teknologi dan perangkatnya. Smartphone, laptop, atau gawai kini bukan lagi sebuah instrumen. Perangkat ini kini menjadi perspektif kritikal dan retoris generasi. Bisa jadi, dosen menilai dan menganggap gawai mereka hanya alat. Dan dengan alat mereka bisa melakukan apa saja.

Baca artikel saya tentang literasi digital.

Namun faktor kedua diatas kurang begitu relevan pada konteks Indonesia. Karena toh, tidak ada di sekolah Gen Y/Z membahas literasi media atau digital. Pendidikan kita masih berfokus pada sisi kognisi konvensional. Dan mungkin, karena sistem pendidikan lama dosen tidak faham literasi digital. Sistem pendidik an dan mendidik yang difahami dosen masih berbasis sistem konvensional.

Faktor terakhir, memandang sosmed dunia euforis tanpa batas. Sosmed via gawai menjadi katarsis emosional dan psikologis bagi yang belum faham literasi digital. Berita hoaks sejatinya mengundang emosi dan menggugah psikis pembacanya. Sudut pandang naive realism mendorong posting yang dianggap benar, bisa valid untuk di-share. Bisa jadi dosen dengan bias prespektif pada satu kasus terjebak filter bubble.

Baca artikel saya tentang naive realism dan filter bubble.

Walau dosen sebenarnya tahu tentang UU ITE. Namun penerapan dan aplikasinya kadang belum banyak diketahui. Komunikasi via grup chat/sosmed dianggap opini pribadi. Padahal kadang setiap posting bersifat publik. Jika dikompori dengan posting hoaks berisi SARA, partisan atau kesehatan, kadang sembarangan disebar. Rekayasa foto, video dengan judul bombastis pun kadang mengaburkan mereka yang melek akademis.

Merunut sebuah penelitian, persebaran hoaks berlangsung cepat dan luas. Riset yang mengumpulkan jutaan tweet dari tahun 2006-2017 oleh periset MIT, menyimpulkan hal mengejutkan. Saat fakta secara algoritma mencapai 100 orang.  Berita bohong sudah menyebar lebih dari 1,000 orang. 

Bahkan seorang profesor ekonomi Harvard pun terpancing tweet bohong, berita disini. Saya pun pernah di-kick grup chat para doktor dan para akademisi. Karena satu kali saya men-debunk foto yang narasinya tidak sesuai fakta.

Dosen secara sadar atau tidak adalah seorang influencer di dunia maya. Reputasi digital pun kini harus sudah difahami para dosen. Jejak digital tidak bisa dihilangkan.

Walau ranah ilmu seorang dosen mungkin tidak mengenai teknologi. Bersikap bijak dan profesional berpendapat harus menjadi parameter digital. Janganlah emosi SARA atau partisan menjadi penyulut berita bohong yang dikonsumsi mahasiswanya, koleganya, atau publik. 

Salam,

Solo, 23 Mei 2018

12:00 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun